Jakarta, CNN Indonesia --
“Buat apa banyak uang, nanti kain kafan tak ada sakunya.” Dharmawan Ronodipuro ingat betul bagaimana sifat bapaknya yang begitu bersahaja dalam banyak hal. Terlebih bicara soal duit atau soal keuangan.
Menurut Dharmawan, kehidupan bapaknya sebagai seorang birokrat jauh dari kesan bermewah-mewah. Contohnya, sebuah rumah sederhana yang terletak di Jalan Talang Betutu, Menteng, Jakarta Pusat yang didiami hingga ujung usianya merupakan rumah yang Jusuf cicil selama puluhan tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Jadi jangan sangka itu fasilitas kantor atau pemerintah,” kata Dharmawan. Ayahnya, tambah dia,”mendapatkan segala yang dimilikinya dengan uang keringat dia.”
(Baca juga: Cerita Jusuf dan Terbakarnya Jas Milik Soekarno)
Dharmawan masih ingat betul saat ayahnya Jusuf menjabat Direktur Utama Percetakan Negara. Saat itu perusahan negara itu hendak membeli mesin cetak baru untuk operasional. “Berbagai macam tawaran datang kepada bapak, layaknya seorang sales menawarkan barang tentu dengan iming-iming,” katanya.
Suatu hari Jusuf akhirnya memilih perusahaan mesin cetak yang bakal jadi rekanan Percetakan Negara. Lalu, kata Dharmawan menceritakan kembali kisah dari ayahnya, sang pemilik perusahaan hendak bermaksud memberikan “rasa terima kasih” kepada bapak. “Namun bapak tolak komisi, menariknya ia tak menolak dengan marah,” katanya.
Dengan senyuman Jusuf lantas menanyakan apakah uang komisinya bisa dikonversikan menjadi mesin cetak baru? Sang pemilik perusahaan lantas menjawab, “jelas bisa.”
(Baca juga: Kisah Tentang Si Penyebar Kabar Indonesia Merdeka)Sejar hari itu, Percetakan Negara memiliki tiga mesin. Sebab uang komisi buat Jusuf tadi ditukar dengan dua mesin cetak baru. “Lantaran kejujuran dan sikap bapak, percetakan negara memiliki tiga mesin cetak baru kala itu,” kata Dharmawan.
Sosok Jusuf sebenarnya adalah pendukung Petisi 50. Petisi yang ditujukan antara lain untuk mengoreksi langkah-langkah Soeharto sebagai Presiden RI yang dianggap melenceng. Terutama dalam sikap koruptif para pejabat Orde baru. “Namun karena bapak tak mau menonjolkan diri, lagi-lagi ia juga tak muncul dalam kelompok itu.”
Sikap Jusuf yang kukuh mencicil rumahnya di Menteng, merupakan suatu hal yang tak terbayangkan akan dialami oleh pejabat masa kini dengan posisi Direktur Jenderal atau Sekretaris Jenderal sebuah kementerian. Dari sosok Jusuf yang bersahaja seharusnya Bangsa Indonesia belajar bagaimana menjadi orang yang anti korupsi. Jusuf pernah berkata, harta tak akan dibawa mati, jadi buat apa serakah menumpuknya.
(sip)