Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan General Manager Divisi Sistem Manajemen dan Informasi Teknologi PT Sarinah (Persero) Ferry Pasaribu mendatangi Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, hari ini, Selasa (22/9). Ferry didampingi penasihat hukumnya, Nelson Nikodemus Simamora, datang mengadukan perkara yang menimpanya.
Ferry mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) lantaran melaporkan perkara dugaan korupsi di Sarinah. Nelson menjelaskan, kedatangan Ferry ke Kejaksaan untuk mempertanyakan soal laporannya yang bocor ke pihak Direksi Sarinah. Hal ini bertentangan dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam undang-undang itu diatur mengenai perlindungan terhadap identitas
whistleblower. “Kalau sudah begini pasti ada jaksa yang melanggar dan itu harus dikenakan sanksi,” kata Nelson saat ditemui hari ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nelson mengaku telah menyurati Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) pada kesempatan sebelumnya, tapi tidak ada tanggapan apapun. Dugaan korupsi yang dilaporkan Ferry diperkirakan merugikan keuangan negara sebesar Rp4,4 miliar.
Tak disangka, laporan tersebut bocor ke Direksi Sarinah. Akibatnya Ferry dipecat dengan alasan membocorkan rahasia perusahaan. Laporan Ferry mengenai dugaan korupsi bermula pada 2012.
Saat itu beredar informasi dan dokumen di antara para pekerja Sarinah berisi piutang macet yang merugikan Sarinah. Piutang itu terkait pembelian singkong kering (cassava) dari Garut, Jawa Barat, untuk dijual ke Korea Selatan oleh manajemen Sarinah.
Sebagai Ketua Ikatan Karyawan Sarinah, Ferry melakukan polling mengenai penyimpangan pembelian singkong kering tersebut. Gayung bersambut, para karyawan setuju untuk mempertanyakan persoalan tersebut ke direksi dan komisaris.
Ferry mengaku, dasar pelaporan itu sebagai bentuk kecintaan terhadap Sarinah. Di tempat itu, dia telah bekerja selama 23 tahun. Pelaporan itu juga merupakan bentuk tanggung jawab dia sebagai Ketua IKS.
“Saya ingin perseroan bersih sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja,” kata Ferry.
Tindakan Ferry membuahkan hasil. Para tersangka dugaan korupsi cassava itu ditahan Kejaksaan Agung pada 6 April 2015. Namun keberanian Ferry malah berbalik menyerang. Dia dituding menjadi biang keladi penahanan.
Ferry yakin ada banyak tersangka dalam kasus ini. Dia malah menambahkan laporan secara tertulis yang ditujukan kepada Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung. Tak disangka, laporan Ferry bocor hingga ke telinga Direksi Sarinah.
Atasan Ferry lantas mengadakan rapat mendadak pada 9 Juli 2015. Seketika itu Ferry langsung diganjar dengan surat PHK. Dia dipaksa mengosongkan mejanya dengan kawalan sekuriti. Hingga kini Ferry kehilangan pekerjaan.
Nelson berpendapat, hilangnya perlindungan terhadap pelapor dugaan korupsi akan memperburuk upaya pemberantasan korupsi. Di waktu mendatang, akan semakin banyak orang yang takut menjadi whistleblower.
Korupsi dinilai bakal semakin merajalela tanpa keberanian masyarakat yang melaporkannya. “Ini jelas bikin orang takut. Bagaimana ceritanya, jadi terbalik-balik. Yang tadinya dia harus dilindungi malah identitasnya bocor,” ujar Nelson.
Nelson juga kecewa atas tanggapan Juru Bicara Kejaksaan Agung ketika dikonfirmasi oleh wartawan tentang kejadian yang menimpa kliennya. Jubir itu, kata Nelson, pelapor boleh membocorkan laporannya.
“Apakah hal tersebut masuk akal? Pak Ferry yang melaporkan dan Pak Ferry sendiri yang membocorkan? Membocorkan untuk kemudian di-PHK? Ini jawaban yang menggelikan,” tutur Nelson.
(rdk)