LIPUTAN KHUSUS

Tahanan Politik 65: Terpaksa 'Akrab' dengan Koramil

Suriyanto | CNN Indonesia
Rabu, 30 Sep 2015 14:50 WIB
Setelah bebas dari Pulau Buru Sekretaris YPKP 65 Eddy Sugianto wajib lapor dan sering dikumpulkan aparat militer setempat.
Sekretaris YPKP 65 Eddy Sugianto yang pernah jadi tahanan politik karena menjadi anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) saat peristiwa G30S. (CNN Indonesia/Suriyanto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Meski sudah tak lagi di balik terali, Eddy Sugianto masih seperti pesakitan. Sebulan sekali bekas tahanan politik ini harus lapor ke Komando Rayon Militer setempat di daerahnya di Kota Cirebon. Bahkan jika ke luar kota, ia harus mengantongi izin dari pejabat militer setempat.

Perlakuan tersebut merupakan satu dari banyak perlakuan diskriminatif yang kerap menimpa bekas tahanan politik seperti dirinya. Padahal kerabat dan tetangga sama sekali tak mempermasalahkan statusnya sebagai bekas tahanan politik Orde Baru.

Eddy adalah salah satu tahanan politik pasca tragedi Gerakan 30 September 1965. Ia ditangkap pada 1969 atau empat tahun setelah pecahnya peristiwa berdarah itu. Sembilan tahun lamanya ia lantas harus dipenjara dan diasingkan tanpa diadili sama sekali.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski sembilan tahun menjadi orang tak bebas, Sekretaris Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) ini masih bingung akan kesalahannya. Ia mengaku sama sekali tak terlibat dengan Partai Komunis Indnesia. Ia hanya tergabung dalam Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), sebuah gerakan mahasiswa terbesar di jamannya. Ia menjabat sebagai ketua CGMI untuk wilayah Cirebon.

CGMI memang bukan organisasi sayap PKI. Namun organisasi ini memang punya kedekatan dengan partai politik pimpinan Dipa Nusantara Aidit itu. “Kebanyakan anak-anak anggota PKI bergabung masuk ke CGMI,” kata Eddy kepada CNN Indonesia.
Saat peristiwa G30S terjadi, Eddy tengah berada di Jakarta untuk menghadiri kongres CGMI. Saat itu sama sekali tidak terdengar ada desas-desus akan ada penculikan jenderal Angkatan Darat.

Seingat Eddy, setelah kembali ke Cirebon, ia mendengar para petinggi CGMI ditangkap tentara. Penangkapan terjadi di seluruh daerah. Takut tertangkap, Eddy memilih kembali ke Jakarta bersama kakanya yang merupakan anggota Serikat Buruh Angkatan Udara Nasional “Waktu itu Jakarta malah dinilai aman dibandingkan di daerah,” ujarnya.

Empat tahun Eddy harus bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain dan menumpang di rumah saudaranya. Namun suatu hari pada bulan April 1969, ia tertangkap juga.

Setelah ditangkap, Eddy langsung ditahan di rumah kalong, sebuah rumah di Jalan Gunung Sahari III, Jakarta Pusat. Rumah kalong saat itu dikenal sangat angker karena menjadi semacam rumah penyiksaan untuk orang yang ditangkap karena terlibat PKI.

Berbagai penyiksaan ia alami di rumah tersebut selama hampir dua bulan. Keluar dari rumah kalong, Eddy kemudian dipindahkan ke penjara Salemba. Lima bulan lamanya ia berada di penjara tersebut. “Bulan November 1969 saya dipindah ke Pulau Buru,” katanya.
Sepuluh tahun lamnya Eddy menghabiskan hari-hari nya di penjara di Pulau Buru bersama ratusan orang yang dituduh terlibat PKI. Ia baru dibebaskan tahun 1979 saat gelombang pembebasan besar-besaran oleh rezim berkuasa saat itu.

Kembali ke rumah, tak ada perubahan perlakuan yang diterimanya dari lingkungan. Tetangga dan keluarga bersikap biasa saja. Yang berbeda justru dari militer yang selalu mengawasinya.

“Kami seperti tak punya kebebasan, setiap bulan selalu dikumpulkan di Koramil,” katanya.

Bukan hanya perkara wajib lapor, tentara saat itu menurut Eddy juga tak segan-segan secara paksa mengambil barang miliknya.

Kebetulan setelah keluar penjara, Eddy membuka warung. Tentara saat itu kerap meminta rokok dan kebutuhan lainnya seperti kerta untuk kepentingan kantor mereka. Perlakuan diskriminatif ini terus didapatkannya hingga orde baru tumbang. (sur/sip)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER