Perludem: Kodifikasi Munculkan Hukum Pemilu yang Konsisten

Abraham Utama | CNN Indonesia
Selasa, 06 Okt 2015 18:45 WIB
Kodifikasi merupakan teknik legislasi yang mengedepankan tiga prinsip, yakni sederhana, koheren dan lengkap.
BELAJAR DEMOKRASI Safir Makki (CNNIndonesia Photographer)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelbagai aturan pemilihan umum baik presiden, legislatif, maupun kepala daerah yang tersebar pada undang-undang berbeda dinilai menyulitkan penyelenggara dan pengawas pemilu untuk menerapkannya. Penerapan hukum pemilu di Indonesia pun tidak jarang bermasalah akibat konstruksi kerangka hukum pemilu yang terpisah-pisah.

Pernyataan ini diungkapkan Direktur Ekskutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Ia mengajukan wacana penghimpunan seluruh peraturan ihwal pemilu ke dalam sebuah kitab undang-undang atau biasa disebut kodifikasi.


Menurutnya, revisi beleid yang terkait pemilu kerap mengakibatkan disharmonisasi antarundang-undang sehingga penyelenggara pemilu kerap kebingungan dalam mengimplementasikan aturan main pemilu. "Ada tumpang tindih dan kontradiksi antara ketentuan-ketentuan di undang-undang yang berbeda, inkonsistensi hukuman dan persyaratan, dan kekosongan hukum yang menyebabkan ketidakjelasan," ucap Titi pada pernyataan tertulisnya kepada CNN Indonesia, Selasa (6/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah dan DPR menurut Titi seharusnya mulai memikirkan baik-buruk wacana kodifikasi undang-undang pemilu. Ia menuturkan, kodifikasi merupakan teknik legislasi yang mengedepankan tiga prinsip, yakni sederhana, koheren dan lengkap.


Ia berujar, sistem hukum yang terkodifikasi dapat mencegah munculnya konflik antarnorma dan doktrin. Berdasarkan pengalaman negara-negara yang telah menerapkan kodifikasi undang-undang pemilu, Titi berkata, teknik ini dapat menjaga konsistensi hukum selama proses revisi. "Setelah hukum yang terkodifikasi berlaku, proses kajian dan pembaruan dapat menjadi lebih mudah dan tidak berisiko untuk membuat kerangka hukum menjadi lemah," tuturnya.

Meski demikian, Titi tidak memungkiri adanya hambatan dalam penerapan kodifikasi pelbagai beleid pemilu di Indonesia. Perdebatan tentang posisi pilkada yang tidak termasuk rezim pemilu nasional merupakan salah satunya. Pun, sejumlah pihak menyebut undang-undang tentang penyelenggara pemilu harus berdiri sendiri. "Kementerian Dalam Negeri masih berpandangan, akibat upaya-upaya desentralisasi, undang-undang dan isu pilkada harus berdiri terpisah dari undang-undang yang mengatur pemilu nasional," kata Titi. 


Menilai argumentasi Kemendagri ituTiti memiliki sanggahan. Ia berpandangan, sikap Kemendagri mengabaikan fakta bahwa penyelenggaraan pilkada juga ada di bawah tanggung jawab KPU dan tidak melanggar kewenangan pemerintah daerah.

Titi menyebut putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014 seharusnya dapat dijadikan pijakan implementasi wacana kodifikasi peraturan pemilu. Melalui putusannya, MK menyatakan pemisahan pemilu presiden dan pemilu legislatif tidak konstitusional.

MK juga memerintahkan pelaksanaan pemilu presiden dan legislatif serentak tahun 2019 mendatang. "Putusan itu mau tidak mau mempengaruhi pergeseran kerangka hukum pemilu di Indonesia. Urgensi Menetapkan sebuah undang-undang baru sebagai landasanhukum pemilu serentak nasional di tahun 2019 menjadi momentum yang tepat untuk mengkaji dan mengkodifikasi empat undang-undang pemilu menjadi satu," ujarnya. (bag)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER