Jakarta, CNN Indonesia -- Penerapan pidana mati oleh pemerintah Indonesia dinilai mempersulit upaya untuk menyelamatkan ratusan buruh migran yang saat ini terancam hukuman serupa di luar negeri.
"Hal ini selain menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap hak asasi manusia, juga memperlemah posisi Indonesia dalam menyelamatkan buruh migran," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (10/10).
Dia mengungkapkan, sejauh ini masih ada sekitar 281 buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri. Di antaranya, kasus paling banyak terjadi di Malaysia, China dan Arab Saudi.
Dia juga menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan reaktif menanggapi eksekusi terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Misalnya, pemerintah hanya mengeluarkan moratorium sepihak "yang sebenarnya sudah diketahui tidak berdampak apa-apa."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu, bertepatan dengan hari anti hukuman mati sedunia, hari ini, pihaknya menuntut pemerintah untuk menghapuskan kebijakan yang menurutnya bertentangan dengan hak asasi manusia itu.
Sementara itu, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengklaim tidak pernah ada pembicaraan yang dilakukan antar lembaga penegak hukum mengenai penghapusan hukuman mati di Indonesia. Menurutnya, hukuman mati akan tetap dilakukan selama kaidah hukum positif ditetapkan di Indonesia.
"Tidak ada pembicaraan penghapusan hukuman mati. Hukum positif kita masih mengenal dilakukannya hukuman mati. Peraturan yang ada juga masih mengatur masalah itu," ujar Prasetyo kepada CNN Indonesia.
Dia juga mengatakan, sebagai lembaga penegak hukum, Kejaksaan harus menjalani hukum, peraturan, dan segala putusan yang sudah dikeluarkan.
"Terpidana mati yang proses perkaranya mendekati final juga masih ada. Jadi, eksekusi tetap akan dijalankan. Selama putusan dari pengadilan sudah ada, ya mau apa lagi," katanya.
Di bawah kepemimpinannya, tercatat sudah dua kali eksekusi mati dilakukan Kejagung terhadap 14 terpidana mati. Eksekusi pertama dilakukan pada 18 Januari lalu, sedangkan eksekusi mati gelombang kedua berlangsung 29 April silam.
Pada eksekusi tahap pertama, ada enam orang terpidana mati dalam kasus narkotika yang berakhir hidupnya ditangan eksekutor. Keenam terpidana tersebut adalah Ang Kiem Soei warga negara Belanda; Namaona Denis warga negara Malawi; Marco Archer Cardoso Moreira warga negara Brazil; Daniel Enemuo warga negara Nigeria; Rani Andriani dari Cianjur dan Tran Thi Bich Hanh warga negara Vietnam.
Sementara itu, terdapat delapan terpidana mati kasus narkotika yang dieksekusi pada April lalu. Mereka yang dieksekusi adalah empat warga Nigeria, Jamiu Owolabi Abashin yang lebih dikenal sebagai Raheem Agbage Salami, Okwudili Oyatanze, Martin Anderson, dan Silvester Obiekwe Nwolise. Kemudian seorang warga Brasil Rodrigo Gularte; Zainal Abidin dari Indonesia; dan duo Bali Nine asal Australia Andrew Chan serta Myuran Sukumaran.
(pit)