SETAHUN JOKOWI-JK

KontraS: Setahun Memimpin, Jokowi Tak Paham Isu HAM

Rinaldy Sofwan Fakhrana | CNN Indonesia
Rabu, 21 Okt 2015 17:49 WIB
KontraS mencatat, belum ada satu pun gebrakan Jokowi untuk tuntaskan kasus hak asasi manusia. Padahal saat kampanye, tim Jokowi minta masukan KontraS.
Social Movement Institute melakukan aksi Kamisan, Refleksi Kritis Reformasi 1998, di Tugu Yogyakarta. (ANTARA/Andreas Fitri Atmoko)
Jakarta, CNN Indonesia -- Belum ada satu pun gebrakan Joko Widodo untuk menuntaskan kasus hak asasi manusia selama satu tahun memimpin Indonesia. Jokowi bukan hanya dinilai tak paham pada isu-isu HAM, tapi juga tak bisa mengatur para pembantunya yang menangani kasus pelanggaran HAM.

Penilaian tersebut diberikan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Menurut Koordinator KontraS Haris Azhar, setahun ini penyelesaian kasus HAM sama sekali tak ada kemajuan.

Padahal sebelum Jokowi memimpin, KontraS sudah memberi banyak masukan soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada penegakan HAM, KontraS sempat dimintai masukan saat tim Jokowi menyusun dan menyempurnakan Nawa Cita.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami saat itu didatangi tim kampanye Jokowi, dimintai masukan," kata Haris kepada CNN Indonesia.

Begitu Jokowi memenangi pemilihan presiden, tim transisi yang dibentuk Jokowi juga kembali meminta masukan. Ada beberapa masukan dari KontraS yang diakomodasi dalam dokumen Nawa Cita, misalnya soal penanganan pelanggaran HAM berat di masa lalu.  

Namun setelah itu Haris tidak tahu hasil atau implementasi atas masukan dari KontraS itu. Menurutnya, masukan yang diberikan KontraS saat ini tidak dijalankan, justru diselewengkan.

Haris menyebut Jaksa Agung M Prasetyo yang seharusnya bertanggung jawab pada penyelesaian kasus HAM. Namun masalahnya, kata Haris, Jaksa Agung bekerja sendiri tanpa berkoordinasi dengan Jokowi. Sementara Jokowi sejak awal memang kurang memahami isu HAM.

"Ini yang saya bilang, (Jokowi) tak mengerti, tak paham, dan tidak bisa mengontrol (bawahannya)," kata Haris. Jokowi, tuduh Haris, hanya tahu soal ekonomi.

Padahal untuk jadi seorang Presiden, kata Haris, dibutuhkan sosok yang bisa menjadi pengatur bagi orang-orang yang mengerti segala hal, mulai dari HAM, ekonomi, sampai hukum dan politik.

Jokowi, menurut Prasetyo, sejak awal sudah salah memilih para pembantu, khususnya Jaksa Agung yang jadi ujung tombak penuntasan kasus HAM.

"Dia pilih Jaksa Agung yang tak mengerti HAM," ujar Haris.

Selama ini, kata Haris, Jaksa Agung hanya banyak bicara soal rekonsiliasi kasus HAM yang belum ada payung hukumnya. "Saya tak mengerti rujukannya apa," ujar Haris.

Haris menyimpulkan, kinerja Jokowi soal HAM setahun ini nihil. Tolak ukurnya adalah masih adanya pemidanaan atau kekerasan yang menimpa pembela HAM. Contoh buruk yang terbaru adalah kasus tewasnya petani dan aktivis antitambang Salim Kancil.

Memang, kata Haris, kasus pelanggaran HAM tak terjadi atas perintah Jokowi. Namun masih terjadinya kasus tersebut, menurut Haris, adalah gambaran bahwa Jokowi tak bisa mengontrol penegak hukum.
Haris berpendapat, tahun pertama Jokowi memimpin lebih fokus untuk bagi-bagi jabatan bagi para pendukungnya. Bukan hanya partai politik pendukung yang mendapat jatah, tapi juga relawan.

Sementara soal pemberian grasi ke tahanan politik Papua, menurut Haris lebih ke pencitraan. “Kalau mau beri grasi, beri saja. Memang harus Jokowi yang memberi (grasi)," kata dia.

Oleh karena itu sisa waktu empat tahun pemerintahan Jokowi diharap Haris bisa dimanfaatkan untuk menjalankan kebijakan positif soal HAM.

“Tak usah takut penjahat-penjahat HAM," kata Haris. Bila perlu, ujarnya, singkirkan mereka yang menghalangi penegakan kasus pelanggaran HAM pada perombakan kabinet jilid II.

“Jokowi harus punya rencana lebih lugas dan tegas,” ujar Haris.

Ia mengatakan rakyat pasti mendukung jika Jokowi menegakkan kasus-kasus HAM. Meski demikian, Haris pesimistis rezim Joko Widodo-Jusuf Kalla bisa menuntaskan kasus HAM apalagi sampai membentu pengadilan ad hoc HAM.

Jaksa Agung Prasetyo sebelumnya menyatakan kasus pelanggaran HAM berat tak bisa diselesaikan lewat pendekatan yudisial. Ia berpendapat akan lebih efektif untuk melakukan rekonsiliasi kolektif.

“(Rekonsiliasi) jadi cara agar kita tidak lagi tersandera dengan beban masalah masa lalu seperti pelanggaran HAM,” kata dia. (sur/agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER