Kepala Dinas Syari'at Islam Aceh: Qanun Jinayat Sesuai UU

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Rabu, 28 Okt 2015 07:25 WIB
Qanun dalam sistem hukum Indonesia setingkat dengan peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan masyarakat Aceh.
Perempuan memakai celana ketat terjaring razia Polisi Syariat Islam atau Wilayatul Hisbah dibantu Satpol PP dan aparat TNI/Polri saat razia penegakkan syariat Islam di Lhokseumawe, (ANTARA FOTO/Rahmad)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Dinas Syari'at Islam Aceh Syahrizal Abbas menilai Qanun Jinayat di Aceh telah sesuai dengan undang-undang (UU) nasional Indonesia. Ia mengatakan Qanun Jinayat dibuat sesuai dengan amanat UU Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Pernyataan Syahrizal dilontarkan menanggapi gugatan sejumlah lembaga pemerhati hak asasi manusia (HAM) dan perempuan ke Mahkamah Agung yang berpendapat kalau Qanun Jinayat bertentangan dengan UU, hingga kemudian mereka mengajukan uji materi.

Seperti diketahui, kedudukan qanun dalam sistem hukum Indonesia adalah setingkat dengan peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Berdasarkan status kekhususannya, Aceh diberikan kewenangan khusus untuk menerapkan nilai-nilai syariat Islam kepada masyarakat setempat. Hal itu diatur dalam qanun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Syahrizal mengacu ke pasal 125 UU Nomor 11 Tahun 2006 yang berbunyi: "Syari'at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar'iyah, dan akhlak". Ia menilai Qanun Jinayat sudah cukup kuat secara hukum.

"Semua orang bisa berpandangan bahwa qanun ini melanggar HAM. Namun, bila dibaca dengan saksama, semua yang tercantum dalam qanun sesuai dengan Al Quran, sunnah, dan pemikiran ulama yang tercantum dalam kitab suci," kata Syahrizal kepada CNN Indonesia, kemarin malam.

Oleh karena itu, kata Syahrizal, qanun tersebut telah menjalankan amanah yang termaktub dalam Al Quran. Hukuman penjara, kata dia, lebih berat dan melanggar HAM daripada hukuman cambuk.

"Hukuman penjara melanggar HAM karena pada dasarnya orang mau hidup bebas, dan bukannya dikurung. Sementara, Qanun Jinayat bisa efektif mencegah orang melakukan perbuatan yang dilarang di dalamnya. Hukum cambuk juga merupakan bentuk pertobatan untuk menyadarkan pelaku," katanya.

Ia menambahkan, "Kalau dibandingkan dengan hukuman cambuk di Singapura, hukuman cambuk di Aceh masih tergolong lebih ringan. Di Singapura, orang yang dicambuk sampai berdarah dan terlihat tulangnya. Kalau di Aceh, tidak sampai begitu karena diatur tangan pencambuk tidak boleh diangkat lebih dari 45 derajat."

Meski telah merasa Qanun Jinayat cukup baik secara hukum, Syahrizal menilai masih banyak kekurangan dalam hal penegakannya. Aparat penegak hukum, kata dia, belum semuanya berintegritas.

Qanun Jinayat telah disahkan tahun lalu dan berlaku efektif di Aceh mulai 23 Oktober 2015. Sementara pembahasannya telah dilakukan sejak 2008.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai ada tiga hal yang menjadi pertentangan antara qanun jinayat dengan kerangka hukum nasional, termasuk konstitusi dan beberapa ketentuan internasional yang telah positif berlaku di Indonesia.

Pertama terkait perumusan norma pidananya yang dinilai multitafsir dan diskriminatif. Hal ini berpotensi menyasar kelompok rentan yaitu perempuan dan anak.

Kedua, mengenai pemidanaannya yang bersifat merendahkan martabat manusia termasuk seperti hukuman cambuk di depan umum.

Ketiga, qanun dinilai melanggar prinsip peradilan yang adil bagi tersangka dan terdakwa. Dalam praktiknya implementasi qanun bersifat selektif, diskriminasi, dan tidak diatur dalam hukum acara yang benar sesuai standar prinsip peradilan yang adil.

Berikut ini merupakan jenis hukuman seperti dikutip dari Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum Jinayat di Aceh:

Khamar (minuman keras)
Dihukum cambuk 40 kali. Jika seseorang mengulangi perbuatan tersebut maka diancam dengan 'Uqubat Hudud cambuk 40 kali ditambah Uqubat Ta'zir cambuk paling banyak 40 kali atau denda paling banyak 400 gram emas murni atau penjara paling lama 40 bulan.

Maisir (perjudian)
Dihukum cambuk 12 kali atau denda 120 gram emas murni atau penjara 12 bulan jika nilai taruhannya paling banyak dua gram emas murni.

Khalwat (mesum)
Dihukum cambuk 10 kali atau denda 100 gram emas murni atau penjara 10 bulan.

Ikhtilath (bermesraan dan berciuman)
Dihukum cambuk paling banyak 30 kali atau denda paling banyak 300 gram emas murni atau penjara paling lama 30 bulan.

Zina (bersetubuh tanpa ikatan perkawinan)
Diancam dengan 'Uqubat Hudud cambuk 100 kali. Jika mengulangi perbuatannya 'Uqubat Hudud cambuk 100 kali dan dapat ditambah dengan 'Uqubat Ta'zir denda paling banyak 120 gram emas murni atau 'Uqubat Ta'zir penjara paling lama 12 bulan.

Pelecehan seksual
Diancam dengan 'Uqubat Ta'zir cambuk paling banyak 45 kali atau denda paling banyak 450 gram emas murni atau penjara paling lama 45 bulan.

Pemerkosaan
Diancam dengan 'Uqubat Ta'zir cambuk paling sedikit 125 kali, paling banyak 175 kali atau denda paling sedikit 1.250 gram emas murni, paling banyak 1.750 gram emas murni atau paling singkat 125 bulan, paling lama 175 bulan.

Liwath (gay)
Diancam dengan 'Uqubat Ta'zir paling banyak 100 kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.

Musahaqah (lesbian)
Diancam dengan 'Uqubat Ta'zir paling banyak 100 kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.

Qadzaf (menuduh orang melakukan zina)
Diancam dengan 'Uqubat Hudud cambuk 80 kali. Jika mengulangi perbuatan diancam dengan 'Uqubat Hudud cambuk 80 kali dan dapat ditambah dengan 'Uqubat Ta'zir denda paling banyak 400 gram emas murni atau 'Uqubat Ta'zir penjara paling lama 40 bulan. (ard)
TOPIK TERKAIT
ARTIKEL
TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER