Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Divisi Pencemaran Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), Margaretha Quina menilai kebijakan dan penegakan hukum oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla masih lemah dalam menangani persoalan pencemaran air.
Menurut Margaretha, hal ini dilihat dari belum optimalnya transparansi informasi kepada publik dan sanksi yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terhadap pelaku pencemaran yang sebagian besar dilakukan perusahaan.
"Kementerian LHK masih belum menunjukkan kepemimpinan yang ideal dalam bidang pengendalian pencemaran," kata Margaretha di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (22/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai contoh, berdasarkan penelitian yang dilakukan ICEL di 17 desa terdampak pencemaran sepanjang Sungai Ciujung Kabupaten Serang, Banten, tidak ada informasi yang diterima masyarakat mengenai menghitamnya sungai tersebut.
Padahal, sungai telah menghitam sejak Mei hingga November 2015. Namun, papan informasi hanya tersedia di Kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten dan Provinsi. Sedangkan peringatan atau buletin yang dikeluarkan pemerintah tidak ada sama sekali.
Selain itu, rencana strategis Kementerian LHK 2015-2019 yang menetapkan target penurunan beban pencemaran air sebesar 30 persen dari basis data tahun 2014 atau setara 124.950,73 ton pada 15 daerah aliran sungai (DAS) prioritas, dinilai Margaretha terlalu kecil.
"Dengan total 180 DAS dalam kondisi kritis, target 15 DAS prioritas selama 4 tahun sangatlah kecil," ujar Margaretha.
Margaretha menuturkan keadaan ini diperparah dengan belum ada upaya yang konkret dan terkoordinasi untuk menguji kembali beban pencemaran sungai-sungai kritis.
Margaretha menambahkan, Kementerian LHK juga tidak memiliki data mengenai presentasi izin pembuangan air limbah berdasarkan perhitungan daya dukung dan tampung sungai.
Margaretha melanjutkan, dengan tidak tegasnya pemberian sanksi kepada perusahaan pembuang limbah menunjukkan pengawasan dan penegakan hukum yang lemah dari pemerintah.
Hal ini dicontohkan dengan tidak diberikannya sanksi terhadap pelanggaran PT Freeport Indonesia dalam melakukan pemantauan kualitas air limbahnya dan hanya ditindak dengan pembinaan serta pemberian ranking merah.
Begitupula, tambah dia, dengan PT Indah Kiat Pulp and Paper yang melakukan pencemaran terbesar di Sungai Ciujung hanya diberikan sanksi paksaan oleh Kementerian LHK.
Sanksi administratif kepada 15 perusahaan lainnya yang melakukan pencemaran juga dinilai tidak berdampak positif terhadap peningkatan kualitas air Sungai Ciujung.
"Tidak adanya dampak dari penegakan hukum tersebut karena pilihan yang tidak strategis oleh Kementerian LHK," ucap Margaretha.
(obs)