Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, kerugian negara secara materi dan imateril akibat kebakaran hutan dan lahan jauh lebih besar dari kasus korupsi. Dilansir dari data Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rata-rata menyidik 15 kasus korupsi selama periode 2010-2014. Kerugian negara dalam kurun waktu itu Rp1,1 triliun.
Selama semester I tahun 2015, KPK disebut menyidik 10 kasus korupsi dengan kerugian negara dan kasus suap Rp106,4 miliar. KPK berkontribusi sebesar 30 persen terhadap total kerugian negara kasus korupsi yang dibongkar aparat penegak hukum di seluruh Indonesia.
Nilai kerugian negara dalam kasus korupsi yang disidik aparat penegak hukum rata-rata sekitar Rp2,7 triliun. Pada semester I tahun ini, kerugian negara dari kasus yang disidik aparat di seluruh Indonesia sebesar Rp1,2 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seberapa besar kerugian negara akibat kebakaran hutan dan lahan? Bagaimana Kementerian LHK merespons kejahatan terhadap hutan dan lingkungan?
Berikut petikan wawancara wartawan CNN Indonesia Aulia Bintang Pratama dan Rosmiyati Dewi Kandi dengan Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian LHK Rasio Ridho Sani:
Apa saja tantangan yang paling berat bagi Kementerian dalam menangani kebakaran hutan?Pertama, dalam penegakan hukum. Tantangan yang kami hadapi sering kali soal pengumpulan data karena kesulitan akses mencapai lokasi. Wilayah kering dan jauh dari akses transportasi. Untuk beberapa lokasi, jaraknya bisa mencapai 8-10 jam jalan darat atau menyeberang dengan perahu.
Kedua, kami sulit mendapat bukti terkait tindakan yang dilakukan pemilik perusahaan untuk mendapatkan bukti apakah kebakaran ini disengaja atau tidak. Ini tidak mudah.
Ketiga, terkait dukungan ahli. Ahli yang bisa menjelaskan kepada hakim, membantu merekonstruksi penuntutan atau penyidikan kami. Kalau kami ingin tahu ini dibakar oleh siapa, ini yang harus dilakukan. Kalau tiipe kebakaran seperti ini berarti disengaja, jika seperti itu berarti tidak disengaja. Kami butuh ahli ini untuk membantu memperkuat bukti. Butuh ahli juga untuk menjelaskan dampak kesehatan dan lingkungan kepada masyarakat.
Keempat, terkait hakim. Hakim kita mungkin tidak terbiasa menangani kasus seperti ini, karena sangat kompleks. Kasus ini butuh knowledge scientific yang kuat. Mungkin hakim tidak biasa. Kita perlu mendorong pemahaman hakim dalam menangani kasus pembakaran hutan dan lahan ini.
Seberapa sulit Kementerian menemukan hakim yang memahami kasus-kasus lingkungan, terutama kebakaran hutan?Kami melihat tingkat kesulitan hakim sangat tinggi. Kami mendorong dan bekerja sama dengan MA (Mahkamah Agung) untuk meningkatkan kapasitas hakim, melalui sertifikasi hakim lingkungan. Jadi hakim itu agar mereka memahami isu lingkungan hidup dan kehutanan, maka harus dilatih dan diberi pendidikan pemahaman melalui sertifikasi hakim lingkungan.
Jumlah hakim yang bersertifikat lingkungan saat ini mencapai 400 orang. Jumlahnya akan kami tambah. Di samping itu, MA juga akan memperkuat efektifitas penanganan hukum, sedang disiapkan sistem kodefikasi kasus lingkungan.
Bagaimana Anda melihat respons publik atas kasus kejahatan lingkungan seperti pembakaran hutan?Kalau korupsi disebut
extraordinary crime karena merugikan keuangan negara. Kasus lingkungan itu lebih luar biasa lagi,
super extra ordinary crime. Kasus kebakaran hutan berapa banyak negara ruginya? Miliar hingga triliunan yang langsung. Lalu kerugian ekonomi kita, bandara tutup, penerbangan tertunda, anak-anak enggak bisa sekolah, kesehatan memburuk, dan udara buruk. Luar biasa sekali dampaknya. Kita harus memberikan pemahaman kepada para hakim, mereka harus punya nurani, harus memutuskan dengan adil seadil-adilnya.
Kejahatan lingkungan berdampak luar biasa, tetapi proses hukum atas kejahatan ini belum masif, tanggapan Anda?Seharusnya ini merupakan kasus yang sangat menarik karena menyangkut masalah yang luar biasa. Menyangkut masa depan bangsa ini. Harusnya hakim melihat kondisi ini sebagai perjuangan yang harus ditekuni untuk kepentingan bangsa yang lebih luas. Media harus membantu kami untuk menyebarluaskan informasi bahwa dampak kasus lingkungan bisa lebih seksi dibanding korupsi.
Korupsi hanya bicara kerugian negara, ini kerugian tak hanya negara. Bayangkan ada satu perusahaan yang kami tuntut, yaitu PT BMH (Bumi Mekar Hijau), kami tuntut Rp7,8 triliun. Ada tidak kasus korupsi sebesar itu? Kerugian negara besar sekali, bahkan belum dihitung dampak-dampak yang lain. Jadi menurut kami kasus LHK kasus yang sangat sangat seksi, tapi yang lain belum melihat itu. Penegakan hukum salah satu solusi untuk mencegah kebakaran hutan lagi.
Bagaimana komitmen pemerintah mengatasi kasus pidana kebakaran hutan?Saya melihat ini satu perkembangan yang sangat menarik. Bayangkan berapa kali Bapak Presiden mengatakan penegakan hukum, penegakan hukum untuk kasus in. Bandingkan dengan kejadian lainnya, saat Menkopolhukam menyebutkan penegakan hukum, penegakan hukum. Lalu KemenLHK mengatakan hal yang sama, kepolisian mengatakan hal yang sama, dan kami lakukan penegakan hukum itu. Kami tak hanya berkata-kata.
Kami melakukan yang kami ucapkan denga pembekuan dan sebagainya. Berbeda dengan tahun kemarin. Saat ini komitmen pemerintah untuk menunjukan bahwa negara hadir.
‘Berbeda dengan tahun kemarin’?Jadi sebelumnya hanja melakukan penuntutan pidana dan gugatan perdata. Kalau sekarang kami lakukan sanksi administrasi juga. Kami melakukan semua instrumen ini untuk memberikan efek jera bagi pelaku. Karena kalau hanya perdata dan pidana, proses hukumnya panjang sekali. Maka kami harus cari terobosan hukum dan Presiden mendukung. Maka itu kami gunakan sanksi administrasi.
Bagaimana koordinasi Kementerian dengan Kepolisian dan Kejaksaan yang juga mengusut pidana kejahatan lingkungan?Hampir setiap minggu saya memimpin rapat koordinasi dengan polisi dan jaksa. Kami membagi mana yang diekrjakan polisi dan mana yang dikerjakan Kementerian agar tidak ada overlaping. Sejak awal pihak kejaksaan juga kami libatkan untuk bersama membangun berkas penuntutan sehingga waktu yang dibutuhkan jaksa untuk memeriksa berkas lebih pendek karena dari awal sudah terlibat.
(rdk)