Kapolri: Satu Anggota Kelompok Santoso Tewas di Poso

Joko Panji Sasongko, Gilang Fauzi | CNN Indonesia
Sabtu, 16 Jan 2016 16:23 WIB
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyebut serangan teror di Jakarta Pusat, Kamis lalu bisa berkaitan dengan kelompok Santoso yang disebutnya juga pendukung ISIS.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyebut serangan teror di Jakarta Pusat, Kamis lalu bisa berkaitan dengan kelompok Santoso yang disebutnya juga pendukung ISIS. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Badrodin Haiti menyatakan ada satu diduga anggota kelompok teroris Santoso tewas ditembak mati dalam operasi Tinombala di Poso, Sulawesi Tengah, Jumat (15/1). Operasi Tinombala adalah operasi pengganti Operasi Camar Maleo.

"Kemarin terjadi kontak tembak di Poso dan satu orang anggotanya meninggal. Nah itu terus kami lakukan pengejaran, kami tambah kekuatan untuk bisa menekan kelompok tersebut," ujar Badrodin usai melakukan rapat koordinasi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (16/1).

Badrodin tidak bisa menyampaikan identitas orang tewas yang diduga anggota Santoso tersebut. Karena ketika diidentifikasi, orang tersebut tidak memiliki tanda pengenal sama sekali.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tentu pada umumnya mereka kan tidak membawa identitas. Ini memerlukan waktu untuk menemukan identitasnya,” ujar Badrodin.

Ia menjelaskan kontak senjata yang terjadi tersebut bisa saja berkaitan dengan aksi terorisme di Thamrin, Jakarta Pusat, pada Kamis (14/1) lalu. Pasalnya, kelompok teroris Santoso dinilai berafiliasi dengan jaringan Negara Islam Iraq dan Suriah (ISIS), yang menyatakan bertanggung jawab dalam peristiwa serangan tersebut.

"Ya kalau tidak ada keterkaitannya semua itu adalah pendukung ISIS. Bisa saja secara organisasi secara perorangan dia bisa satu sama lain kontak. Tetapi semua yang disini dan Poso adalah semua pendukung ISIS," ujar Badrodin.

Beda Gerakan

Sementara Pengamat Teroris Harits Abu Ulya menyebutkan satu perbedaan mendasar antara gerakan kelompok Santoso, dengan kelompok pimpinan Bahrun Naim yang diduga menjadi aktor dibelakang serangan bom di Ibukota kemarin.

“Bahrun Naim mencetuskan ide perang gerilya kota sejak lama, berbeda dengan Santoso yang menggerakkan kelompoknya untuk bergerilya di hutan,” kata Harits.

Harits yang mengaku mantan pengacara Bahrun saat yang bersangkutan tersangkut masalah hukum di Solo, Jawa Tengah beberapa tahun lalu menuturkan Bahrun punya peranan yang cukup menonjol di jaringannya dengan memberikan kontribusi pemikiran tentang konsep perlawanan. Hal itu pula yang dianggap Harits cukup dapat menjelaskan mengapa banyak pihak menyebut aksi teror di Thamrin terkait dengan perebutan kepemimpinan jaringan ISIS di Asia Tenggara.

Ia melanjutkan, Bahrun merupakan bagian dari anggota Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang kini telah bubar. Adanya perbedaan pemikiran di tubuh JAT membuat kelompok pimpinan Abu Bakar Baasyir terbelah. Bahrun dalam hal ini memilih ikut bersama 10 persen mantan anggota JAT yang setia mengikuti langkah Baasyir bergabung ISIS.

Pengorganisasian jaringan ISIS di luar Timur Tengah, kata Harits, pada dasarnya bersifat cair, atau tidak terorganisir dengan baik. Bahkan saat jaringan masih berbasis di Solo dan sekitar Jawa, tak sedikit dari mereka yang terkontaminasi dengan pihak intelijen.

Dalam kondisi cair seperti itu, maka muncul sosok Bahrun yang kemudian mampu memberikan persfektif bagaimana memberikan perlawanan. Pada praktiknya, kata Harits, Bahrun juga mengajarkan bagaimana cara membuat bom rakitan.

"Bahkan kemudian dia juga yang mengingatkan bagaimana pentingnya sel komando putus," kata Harits.

Kunci dari sistem komando putus, kata Harits, ada pada tingkat militansi dari setiap anggota. Dalam arti lain, setiap aksi yang dilakukan tidak harus terhubung dengan komando pusat. Aksi bisa dilakukan sendiri-sendiri dan bahkan tidak menutup kemungkinan mampu membangun jaringan terpisah.

Dalam konteks aksi teror, Harits mengakui bahwa sistem sel komando putus sangat berbahaya dalam memberikan dampak pada praktik di lapangan. Sebab setiap aksi pada akhirnya bergantung pada keyakinan dan loyalitas dari setiap anggota selaku eksekutor.

Dengan kata lain, Harits menyimpulkan bahwa semua orang yang terlibat atau menjadi bagian yang tergabung bersama ISIS dengan sendirinya telah membekali diri sebagai ancaman yang potensial. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER