Jakarta, CNN Indonesia -- Yayasan Supersemar pendirian Presiden kedua Soeharto diberi waktu selama 8 hari ke depan untuk membayar jumlah denda perkara perdata yang melibatkannya sebesar Rp4,4 triliun kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pemberian waktu untuk membayar denda tersebut diputuskan usai sidang aanmaning digelar PN Jakarta Selatan, Rabu (20/1) pagi tadi. Pemberian tenggat waktu untuk membayar denda diputuskan walaupun pihak pengurus Supersemar sempat meminta penangguhan waktu sita eksekusi kepada PN Jakarta Selatan.
"Pada pertemuan itu terjadi penyerahan surat permohonan penundaan sita eksekusi oleh termohon (Supersemar) dengan alasan saat ini mereka sedang ajukan gugatan perdata di sini. Ketua Pengadilan sebagai pelaksana eksekusi akan mempelajari apakah memang layak ditangguhkan atau bagaimana," kata Humas PN Jakarta Selatan Made Sutrisna di kantornya, Rabu (20/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Supersemar dapat mulai melakukan pembayaran denda perkara perdata yang melibatkannya mulai esok Kamis (21/1). Namun, denda yang akan dibayarkan Supersemar diprediksi tidak mencapai jumlah yang sudah diputuskan Mahkamah Agung.
Jika pembayaran denda belum mencapai jumlah yang disebutkan dalam putusan MA, maka Juru Sita PN Jakarta Selatan dapat langsung bergerak untuk melaksanakan eksekusi aset Supersemar.
Untuk mempermudah eksekusi, jika terlaksana, Juru Sita PN Jakarta Selatan meminta Kejaksaan Agung segera mengirim jumlah perhitungan aset milik Supersemar.
"Tentu dilihat aset mana saja yang memang milik yayasan sendiri. Karena perkara ini dari awal tidak pernah ada penyebutan aset milik tergugat waktu itu, sehingga sampai skrg PN tidak punya data aset apa yang dimiliki pihak termohon. Tugas pemohon (Kejagung) lah untuk mencari tahu aset-aset itu," kata Made.
Juru Sita PN Jakarta Selatan disebut belum memegang satu pun data aset milik Supersemar hingga saat ini. Padahal, jika eksekusi terlaksana maka hal tersebut dapat mulai dilakukan mulai awal Februari mendatang.
Supersemar telah dinyatakan kalah dalam pengadilan melawan negara. Yayasan itu dianggap bersalah karena telah menggunakan dana beasiswa untuk keperluan yang tidak berkaitan dengan pendidikan pada periode 1989-1993.
Berdasarkan salinan putusan MA, Supersemar diputus bersalah karena sempat menyalurkan dana ke sebuah bank dan tujuh perusahaan. Bank yang sempat menerima dana dari Yayasan Supersemar adalah Bank Duta.
Pada Putusan MA Nomor 2896 K/Pdt/2009 disebutkan, Bank Duta sempat menerima uang sejumlah US$420 juta. Yayasan Supersemar juga tercatat pernah memberi dana sebesar Rp13 miliar kepada PT Sempati Air sebuah maskapai yang kini sudah bangkrut.
Selain itu, yayasan juga sempat menyalurkan dana sebanyak Rp150 miliar ke PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti.
Masih dalam putusan yang sama, MA mencatat Supersemar pernah memberi dana Rp12 miliar kepada PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri. Terakhir, MA menyebut Yayasan Supersemar bersalah karena pernah memberi uang sejumlah Rp10 miliar ke Kelompok Usaha Kosgoro pada akhir 1993.
Karena perbuatan itu Supersemar divonis bersalah oleh PN Jakarta Selatan pada 28 Maret 2008. Putusan PN Jakarta Selatan dikuatkan dengan vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta di tingkat banding pada 19 Februari 2009.
Keberatan dengan putusan itu, Supersemar mengajukan kasasi ke MA pada Oktober 2010. Namun kasasi Supersemar tidak diterima sepenuhnya oleh MA. MA menerima sebagian permohonan pemerintah. Namun jumlah nominal denda yang harus dibayar Yayasan Supersemar salah ketik dalam putusan tersebut.
Dalam putusan, tertulis denda yang harus dibayar Supersemar adalah 75 persen dari Rp185 juta. Padahal Yayasan itu seharusnya membayar 75 persen dari Rp185 miliar, atau Rp 139 miliar kepada negara.
Atas kasasi itu, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) pada September 2013, yang juga diikuti PK Yayasan Supersemar. MA akhirnya mengabulkan PK negara dan menolak PK Supersemar sehingga mereka mesti membayar denda sebesar Rp4,4 triliun lebih pada tahun ini.
(bag)