Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo akan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan perundungan atau tindakan kekerasan terus-menerus
(bullying) terhadap anak di satuan pendidikan, termasuk sekolah.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyebutkan, Perpres ini akan disiapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am Sholeh.
Pramono menuturkan, selama ini jika terjadi kekerasan terhadap anak, masyarakat biasanya hanya menyelesaikan permasalahan dengan dua cara, yakni melakukan pembiaran atau melaporkan ke polisi. Padahal, menurutnya, masih ada langkah-langkah lain yang bisa ditempuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Menteri Anies menjelaskan, presiden sebelumnya telah memberi arahan agar negara harus hadir dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan perundungan anak di satuan pendidikan. Menurutnya, selama ini tidak ada intervensi khusus terhadap tindak kekerasan di lingkungan sekolah.
"Oleh sebab itu, kami memulai dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 yang komponennya ada tiga, yakni penanggulangan, sanksi, dan pencegahan," ujar Anies di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (20/1).
Anies berpandangan, penanggulangan harus menjadi komponen pertama, karena data menyebut bahwa 84 persen siswa mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah, sementara 75 persen siswa mengaku pernah melakukan kekerasan di sekolah.
"Ini fakta yang mengganggu sekali dan bila tidak dilakukan langkah luar biasa, maka persoalan ini tidak akan pernah bisa selesai," katanya.
Mantan Rektor Universitas Paramadina itu menuturkan, kementeriannya belum lama ini mewajibkan sekolah-sekolah untuk melaporkan setiap kejadian kekerasan kepada orang tua dan Dinas Pendidikan. Sedangkan untuk kekerasan berat, maka sekolah harus melaporkan langsung kepada aparat penegak hukum.
"Kedua, pemerintah daerah diharuskan untuk membentuk tim adhoc penanggulangan kekerasan, yang terdiri dari tokoh masyarakat, pegiat pendidikan, psikolog, dan orang tua yang ada di lingkungan itu," ujarnya.
Di sisi Kemendikbud, Anies menyebutkan telah dilakukan upaya penanggulangan dengan membentuk tim penanggulangan independen, terutama untuk kasus-kasus kekerasan yang berat.
Ia berpandangan, selama ini tidak pernah ada sanksi yang diberikan kepada sekolah, sehingga jika terjadi kekerasan, sekolah tidak memiliki pedoman mengenai apa yang harus dilakukan, selain menyelesaikan secara kekeluargaan atau membawa ke ranah hukum.
Oleh karenanya, Anies menegaskan bahwa mulai sekarang, dengan dibentuknya payung hukum berupa Perpres, pemerintah memilki aturan untuk menindak anak didik yang melakukan kekerasan dengan memberikan sanksi dan teguran.
Teguran tersebut, ucapnya, juga akan muncul dalam rapor, sehingga menjadi catatan tersendiri. Sementara guru dan tenaga pendidikan yang terbukti lalai atau melakukan pembiaran akan mendapatkan sanksi tegas.
"(Anak didik yang melakukan kekerasan) akan ada pembinaan, tentu saja. Kami juga garisbawahi bahwa sekolah harus menjamin hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Jadi, jangan karena ada masalah, terus langsung dikeluarkan. Kalau dikeluarkan itu artinya masalahnya tidak selesai. Dipindahkan saja, tidak bisa anak diberhentikan," katanya.
Anies juga menegaskan, sebagai upaya pencegahan, sekolah-sekolah diharuskan memasang papan informasi mengenai 'sekolah aman', yakni dengan memajang nomor telepon sekolah, kepala dinas, polsek, dan kementerian.
"Bila terjadi kekerasan, bisa lapor. Kontak ke nomor-nomor itu. Dipasang di serambi sekolah, ukuran besar biar mudah dibaca dan diakses," ujarnya.
Selain itu, Anies meminta pemerintah daerah untuk membentuk gugus tindak pencegahan kekerasan. Adapun di tiap sekolah, ucapnya, harus ada tim pencegahan kekerasan.
(adt)