Jakarta, CNN Indonesia -- Kantor Staf Presiden (KSP) dalam waktu dekat akan membentuk tim untuk mencari model penyelesaian terbaik kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu. Hal tersebut merupakan tindak lanjut keputusan pemerintah untuk menempuh jalur rekonsiliasi.
Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Andogo Wiradi mengatakan, penyelesaian kasus HAM masa lalu menjadi prioritas sebagaimana komitmen Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus masa lalu.
"Beberapa bulan ke depan akan ada agenda strategis terkait penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Presiden punya keinginan HAM masa lalu diselesaikan," ujar Andogo saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (15/2).
Menurutnya, peran KSP sendiri dalam persoalan tersebut adalah mendukung adanya
forum group discussion (FGD). Hasil FGD itu nantinya akan diusulkan ke Presiden Joko Widodo, untuk kemudian menjadi bahan untuk melakukan rapat bersama menteri-menteri terkait.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andogo menjelaskan pemerintah memutuskan untuk tetap menempuh jalur nonyudisial karena beberapa pertimbangan. Pertama, pemerintah melihat korban tidak hanya ada di satu pihak. Dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu, katanya, pelaku bisa saja menjadi korban juga. Oleh karena itu, FGD dilakukan untuk memediasi kedua belah pihak dan mencari kejelasan-kejelasan atas kasus HAM masa lalu.
Selain itu, penyelesaian melalui jalur hukum, katanya, bisa memberikan dampak tertentu. Mantan Asisten Deputi Koordinasi Pengelolaan Wilayah Khusus Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan tersebut mencontohkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur (sekarang Timor Leste). Saat itu, pemerintah sebelumnya sepakat melakukan penyelesaian melalui ganti rugi.
"Ini sudah terjadi di pemerintah dulu. Di satu keluarga, satu kepala keluarga diganti Rp10 juta, dan yang diganti banyak, sehingga bisa capai triliunan, bisa bangkrut negara. Ini, kan, kebijakan pemerintah yang dulu. Makanya, sudahlah, saling memaafkan,"kata Andogo.
Sementara itu Ahli Utama Deputi V Bidang Dalam Negeri Febry Calvin Tetelepta mengatakan, FGD akan melibatkan berbagai pemangku kebijakan seperti korban, Tentara Nasional Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kejaksaan Agung dan perwakilan lembaga swadaya masyarakat.
"Harus dilibatkan semua sehingga penyelesaian komprehensif tidak membuat masalah baru," ujarnya.
Ditanya mengenai kasus-kasus apa saja yang akan dibahas dalam diskusi tersebut, Febry mengatakan saat ini pihaknya masih mengkaji kasus-kasus apa saja yang akan dibawa ke dalam FGD tersebut.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan, pemerintah memutuskan akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu dengan upaya rekonsiliasi.
Luhut menyebutkan, pemerintah akan memproses kasus-kasus tersebut dengan pendekatan non-yudisial, tapi tidak dalam konteks meminta maaf.
"Kami sedang cari kalimat yang pas untuk itu, apakah 'menyesalkan' atau bagaimana. Kira-kira dalam dua sampai tiga bulan ke depan akan diproses. Kami tidak mau berlama-lama lagi karena sudah terlalu lama ditunda," ujar Luhut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Luhut menjelaskan, langkah penyelesaian dilakukan dengan rekonsiliasi karena dari Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa negara sudah tidak lagi memiliki alat bukti yang bisa membuat kasus-kasus tersebut diproses di pengadilan.
"Kami pikir lebih bagus. Kami melihat ke depan bahwa ada kejadian-kejadian yang lalu, kami sesalkan itu terjadi. Itu bagian dari sejarah gelap dan itu terjadi bukan hanya di Indonesia, tapi di belahan dunia lain juga bisa lakukan itu," katanya.
(sur)