Jakarta, CNN Indonesia -- Penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) yang bertajuk Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2015 menunjukkan masyarakat semakin idealis membenci korupsi tetapi tidak sejalan dengan perilaku nyata yang dilakukan sehari-hari.
IPAK disusun berdasarkan dua dimensi utama, yaitu persepsi dan pengalaman. Dari skala 0-5, indeks persepsi mencapai angka 3,73 sementara indeks pengalaman mencapai 3,39. Reratanya yaitu 3,59.
Kepala BPS Suryamin mengatakan indeks ini menunjukkan persepsi masyarakat untuk antikorupsi cenderung meningkat dari tahun 2012 hingga 2015. Namun, dari dimensi pengalaman, sikap masyarakat cenderung menurun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Indeks ini menunjukkan masyarakat dalam tataran praktik ketika berhadapan dengan pelayanan publik masih melakukan perilaku korupsi," kata Suryamin saat rilis IPAK 2015 di BPS, Jakarta, Senin (22/2).
Data yang dikumpulkan dalam IPAK mencakup persepsi terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berurusan dengan layanan publik dalam hal penyuapan, pemerasan, dan nepotisme.
Salah satu contoh perilaku penyuapan adalah pengalaman masyarakat membayar uang lebih untuk menpercepat proses pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu keluarga (KK).
Sementara pemerasan digambarkan melalui pengalaman masyarakat diminta uang lebih oleh petugas dalam urusan sertifikat tanah. Adapun, nepotisme digambarkan melalui pengalaman masyarakat ditawari bantuan oleh saudara atau temannya untuk diterima sebagai pegawai negeri/swasta.
Bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, indeks persepsi masyarakat terhadap perilaku antikorupsi mengalami peningkatan, yaitu dari angka 3,54 (2012) menjadi 3,66 (2013). Pada 2014, meningkat lagi menjadi 3,71.
Berbeda halnya dengan indeks persepsi, indeks pengalaman justru menurun, yaitu dari 3,58 (2012 dan 2013) menjadi 3,49 (2014).
"IPAK masyarakat di wilayah kota selalu lebih tinggi dibandingkan di desa. Namun keduanya menunjukkan penurunan," kata Suryamin.
Ia berpendapat pemerintah perlu melakukan pemantauan secara lebih ketat untuk mencegah terjadinya perilaku korupsi. Pemantauan itu, kata Suryamin, harus dilakukan sampai ke level terbawah, seperti desa dan kecamatan.
Di sisi lain, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan berpendapat pengetahuan dan perilaku antikorupsi masyarakat memang meningkat namun ketika berhadapan dengan realitasnya, masyarakat terpaksa melakukan praktik korupsi karena keadaan pelayanan yang masih korup.
"Dalam aspek pencegahan, KPK punya program pendampingan 269 kepala daerah baru. Kami juga mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk mengimplementasikan
e-budgeting dan unit pengadaan pelayanan terpadu," katanya.
Selain itu, Pahala berpendapat tiap-tiap daerah perlu segera menjalankan Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu untuk menghindari praktik-praktik suap. "Regulasinya sudah ada tetapi belum semuanya menjalankan," tuturnya.
Adapun, penelitian ini dilakukan pada November 2015 yang mencakup 33 provinsi, 170 kabupaten/kota, dengan jumlah sampel 10 ribu rumah tangga. Analisi mengenai perilaku antikorupsi dalam survei ini hanya untuk representasi
level nasional.
(bag)