Kisah Sri Mulyati, Sulitnya Menagih Ganti Rugi Salah Tangkap

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Senin, 29 Feb 2016 10:00 WIB
Sudah tiga tahun Sri Mulyati, korban peradilan sesat, berjuang mendapatkan ganti rugi.
Sri Mulyati (40), korban salah tangkap yang kini tengah memperjuangkan uang ganti rugi senilai Rp5 juta akibat peradilan sesat. Dok. Pribadi
Jakarta, CNN Indonesia -- "Saya akan terus memperjuangkan uang ganti rugi sebesar Rp5 juta karena itu merupakan hak saya. Bagi orang lain, Rp5 juta bukan apa-apa, namun bagi saya itu cukup berarti."

Demikian curahan hati Sri Mulyati (40), korban salah tangkap yang kini tengah memperjuangkan uang ganti rugi akibat peradilan sesat. Sejak 2013, pengadilan memutuskan Sri mendapat ganti rugi sebesar Rp5juta.

Ditambah dengan denda di pengadilan yang pernah Sri bayarkan senilai Rp2 juta, maka jumlah uang ganti rugi menjadi Rp7 juta. Namun, hingga kini, uang tersebut tidak juga ia dapatkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau ditanya apakah nilai ganti rugi itu adil atau tidak, tentu menurut saya tidak adil. Kerugian yang sama alami bukan hanya sebatas materi, tetapi juga berupa kehilangan waktu bersama keluarga, trauma, serta mendapatkan sanksi sosial hingga kini," kata Sri kepada CNN Indonesia, pekan lalu.

Kasus Sri bermula saat dia bekerja sebagai kasir mencakup resepsionis di salah satu tempat karaoke di Semarang, Jawa Tengah. Pada 8 Juni 2011, karaoke tempat Sri bekerja dirazia polisi dengan tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur.

Saat razia berlangsung Sri sedang berada di rumah. Dia kemudian ditelepon manajernya untuk datang ke karaoke. Sesampainya di sana, Sri langsung ditangkap polisi. Dia dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab mempekerjakan anak di bawah umur.

"Padahal, saya yang saat itu sebagai resepsionis hanya mengantarkan anak itu kepada bos saya. Keputusan mempekerjakan anak itu sepenuhnya ada di tangan bos saya," kata Sri mengenang. Saat bekerja sebagai kasir upahnya Rp700 ribu per bulan.

Selama dua minggu pertama ditahan, Sri tidak didampingi kuasa hukum. Barulah kemudian mendapat bantuan advokasi dari Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron Semarang.
Saat di persidangan, muncul fakta baru, di mana si anak yang dipekerjakan memberi kesaksian bahwa bukan Sri yang merekrutnya. Namun, hakim tetap memvonis Sri bersalah dengan hukuman delapan bulan.

Mahkamah Agung pada 2012 membebaskan Sri. Dia kemudian mengajukan permohonan ganti rugi akibat peradilan sesat. Pada 2013, putusan pengadilan mengabulkan permohonannya.  

Prosedur panjang pencairan uang ganti rugi

Advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron, Ester Natalya yang mendampingi Sri, mengatakan pencairan uang ganti rugi korban peradilan sesat harus melalui prosedur yang terlalu berbelit-belit sehingga sulit dilakukan.

Dalam kasus Sri, pencairan uang ganti rugi peradilan sesat masih mengacu kepada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 983/KMK.01/1983 (KMK Nomor 983) tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi.
Menurut Ester pencairan dana ganti rugi melalui berbagai instansi dengan prosedur panjang sehingga kerap membuat korban peradilan sesat menyerah menjalankan prosesnya.

Berikut prosedur yang harus dijalani korban ganti rugi. Korban salah tangkap harus memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk pencairan dana ganti rugi. Ketua PN lalu mengajukan permohonan ke Menteri Kehakiman.

Menteri Kehakiman lalu mengirimkan surat ke Menteri Keuangan untuk menerbitkan Surat Keputusan Otorisasi (SKO). Berbekal SKO, korban lalu mengajukan permohonan ke Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) lewat Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Atas permohonan ini, Ketua Pengadilan Negeri meneruskan surat tersebut ke Kantor Perbendaharaan Negara. Kantor Perbendaharaan Negara lalu mengeluarkan Surat Perintah Membayar kepada yang berhak.

Pembayaran tersebut kemudian dianggarkan dalam APBN tahun berikutnya. Setelah itu, surat perintah membayar dikirim ke korban salah tangkap. Uang yang telah cair di APBN tahun berikutnya lalu masuk ke kas Pengadilan Negeri setempat.

Pengadilan Negeri setempat lalu memberitahu korban salah tangkap/korban peradilan sesat. Korban salah tangkap atau peradilan sesat lalu mendatangi Pengadilan Negeri setempat dan serah terima uang.

Dalam pasal 9 PP 27/1983, diatur batas maksimal ganti kerugian sebesar Rp1 juta dan Rp3 juta bagi korban yang akibat salah prosedur tersebut menderita cacat bahkan sampai mati.

Namun, hakim dalam kasus Sri melakukan terobosan dengan menetapkan uang ganti rugi untuk Sri senilai Rp5 juta. “Saat ini prosesnya kami sudah menanyakan ke Kementerian Hukum dan HAM. Selanjutnya seharusnya Kemenkumham berkoordinasi dengan Kemenkeu untuk pencairan dana tersebut,” katanya.
Kini, PP tersebut telah direvisi menjadi menjadi PP Nomor 92 Tahun 2015. Dalam PP itu, jumlah ganti rugi telah mengalami peningkatan, yaitu senilai maksimal Rp100 juta serta Rp600 juta maksimal apabila korban meninggal. “Sayangnya, dalam kasus Sri, belum bisa mengacu pada PP yang baru karena saat itu belum direvisi,” katanya. (yul)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER