Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko tidak mau berspekulasi atas Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 50 tahun lalu. Menurutnya, peristiwa itu masih penuh dengan tanya. Sementara asumsi yang berkembang membawa pada kesimpulan yang sama.
"Jangan membangun persepsi di tengah ketidakpastian. Semua tidak bisa menjelaskan isinya, yang ada hanya ketidakpastian menerjemahkan surat perintah itu seperti apa," kata Moeldoko saat diskusi "Supersemar, dari Soekarno ke Soeharto, Peta Kontestasi dan Arah Rekonsiliasi" di kantor Para Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (11/3).
Moeldoko hadir sebagai salah satu pembicara dalam diskusi khusus merayakan 50 tahun Supersemar. Saat kejadian Supersemar berlangsung, Moeldoko masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Dia hanya mengingat banyak orang panik ketika itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang saya ingat, orang mondar mandir seperti kena gempa," kata Moeldoko.
Mantan Pangdam Siliwangi itu mengatakan peristiwa Supersemar harus dipandang secara kontekstual sesuai dengan zamannya. Situasi politik dan ekonomi Indonesia saat itu dinilai semakin memburuk. Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah pengamanan.
"Supersemar sangat kontekstual dikeluarkan oleh Presiden (Soekarno) sebagai surat perintah pengamanan," katanya.
Sebagai mantan panglima, Moeldoko bisa membayangkan tindakan Soeharto ketika menerima Supersemar. Soeharto berusaha menerjemahkan perintah presiden dan situasi saat itu. Sehingga yang muncul adalah intuisi sebagai seorang pemimpin tentara.
"Seorang panglima memiliki otoritas yang cukup tinggi untuk menerjemahkan perintah dan situasi, akhirnya yang muncul intuisi seorang pemimpin," ujarnya.
Moeldoko mengatakan secara teori perlu ada yang namanya perkiraan cepat. Saat dia memimpin sebagai Pangdam Siliwangi, kondisi di lapangan tidak selalu sesuai dengan perintah. Saat memerintahkan bawahannya untuk menyerang suatu wilayah, ternyata dalam perjalanannya tidak sesuai rencana.
"Maka ada yang namanya perkiraan cepat untuk menghasilkan keputusan cepat. Itu kira-kira bagaimana terkait pengambilan tindakan dan keputusan," ujar Moeldoko.
Dia menambahkan, hal itu menunjukkan intuisi diperlukan bagi seorang pemimpin tentara ketika muncul sesuatu yang tidak terduga secara ekstrim.
Usai Peristiwa Supersemar, Soeharto mengambil beberapa tindakan. Dia melakukan pembubaran Partai Komunis Indonesia, mengamankan 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa.
(yul)