WAWANCARA KHUSUS

Djarot: Anak Saya Suka Jakarta, Tak Mau Kembali ke Blitar (2)

Lalu Rahadian | CNN Indonesia
Sabtu, 26 Mar 2016 14:47 WIB
Pertama kali tiba di Jakarta, anak Djarot kaget. Saat diajak sang ayah jalan-jalan ke Sawah Besar, dia menyelutuk, "Katanya Sawah Besar, mana sawahnya, Yah?"
Djarot Saiful Hidayat saat menghadiri Karnaval Perayaan Cap Go Meh 2016 di Pecinan, Glodok, Jakarta Barat. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Djarot Saiful Hidayat, lelaki kelahiran Gorontalo, 60 tahun lalu itu bukan warga asli Jakarta. Dia memimpin Kota Blitar di Jawa Timur selama dua periode, 2000-2005 dan 2005-2010, sebelum empat tahun kemudian, 2014, terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI dari daerah pemilihan Jawa Timur VI.

Namun baru tiga bulan menduduki kursi parlemen di Senayan, “kecelakaan” sejarah membuatnya memegang tampuk pimpinan pemerintahan Jakarta. Terpilihnya Jokowi sebagai Presiden membuat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok naik menjadi Gubernur Jakarta, dan Djarot –setelah melalui serangkaian proses– dipilih untuk mengisi posisi Wakil Gubernur Jakarta.

Kini menjelang Pilkada Jakarta 2017, nama Djarot ikut disebut-sebut. Sempat diincar Ahok untuk mendampinginya berlaga di arena pertarungan politik, Djarot mengatakan tak semudah itu maju mencalonkan diri di pilkada, sebab sebagai kader partai, ada mekanisme yang mesti dilalui di internal partai.
Kepada wartawan CNNIndonesia.com, Lalu Rahadian dan Basuki Rahmat Nugroho, Djarot bercerita tentang berbagai pandangannya atas Jakarta selama dua tahun tiga bulan mendampingi Ahok mengelola ibu kota.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa penilaian Anda terhadap Jakarta setelah dua tahun tiga bulan menjabat sebagai Wakil Gubernur Jakarta?

Jakarta sebagai ibu kota negara sekarang sudah mengarah untuk mewujudkan kota yang cerdas, Jakarta Smart City. Cerdas dalam tata pemerintahannya ya –smart governance. Artinya pemerintahan Jakarta harus benar-benar memanfaatkan teknologi informasi dalam menyerap berbagai macam aspirasi masyarakat maupun menyelesaikan berbagai masalah masyarakat.

Jakarta harus dihuni oleh masyarakat yang cerdas –smart people. Jakarta juga harus punya perhatian terhadap lingkungan –smart environment. Kemudian mampu mewujudkan Jakarta yang bisa memberi tempat hunian yang bagus bagi masyarakatnya.

Jadi kami (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta) arahnya ke sana dan kami sudah on the track untuk mewujudkan Jakarta Smart City dalam arti yang sesungguhnya, terutama dalam hal penataan transportasi, banjir, taman, penerangan. Itu semua bagian dari Jakarta Smart City.

Menurut Anda, apa masalah terbesar ibu kota dan apa solusinya?

Salah satu  persoalan terbesar adalah kependudukan. Jakarta sebagai ibu kota negara tentu pusat perekonomian yang utama, di mana uang yang beredar di Jakarta itu hampir 70 persen dari total uang di Indonesia.

Itu akan mendorong tingkat migrasi yang sangat tinggi sehingga jumlah penduduk Jakarta setiap tahun akan semakin meningkat, baik yang bertempat tinggal di Jakarta –yang sekarang sudah hampir 10 juta, termasuk juga mereka yang keluar-masuk Jakarta yang jumlahnya kurang lebih 13 juta.

Setiap penduduk tentu membutuhkan ruang dan tempat untuk mengeluarkan satu energi. Akibatnya Jakarta selalu dihadapkan pada masalah kumuh, kepadatan penduduk yang luar biasa, sanitasi yang buruk, dan penyediaan air bersih yang semakin berkurang.

Kepadatan seperti ini adalah karena di masa lampau pembangunan kita terlalu tersentral di Jakarta. Oleh karena itu kepadatan penduduk harus diurai dengan menciptakan pusat-pusat ekonomi baru di kawasan Jabodetabekjur (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Tajur) sehingga kawasan itu juga menjadi daya tarik.

Mereka semua (penduduk) tak perlu masuk ke Jakarta karena sudah tertampung di kawasan-kawasan sabuk Jakarta itu. Dengan begitu kita akan semakin mudah untuk menata Jakarta karena masyarakatnya tidak setiap tahun bertambah dan ini sangat berat bebannya bagi Jakarta.

Secara lanskap politik, Jakarta menurut Anda bagaimana?

Tentu saja dalam lanskap politik, sebagai ibu kota, semua kantor pusat partai ada di Jakarta. Pusat pemerintahan juga. Semua elite politik di Jakarta sehingga dinamika politik Jakarta tentunya sangat tinggi.

Saya kasih contoh, berbagai macam demonstrasi yang datang dari berbagai daerah bukan hanya menyampaikan aspirasi ke Pemprov Jakarta, tapi juga bisa ke Istana, kementerian, partai politik, sehingga menurut saya, Jakarta menjadi satu kota politik nasional.

Jadi politik Jakarta dipengaruhi oleh politik nasional?

Pasti.

Intervensi?

Bukan intervensi. Begini, semua partai politik kan kantor pusatnya di Jakarta. Keputusan-keputusan politik dilakukan di masing-masing kantor DPP (Dewan Pimpinan Pusat Partai). Oleh karena sangat terpengaruh erat dengan Jakarta.

Pengambilan keputusan menjadi sangat cepat diketahui masyarakat Jakarta, apalagi Jakarta juga menjadi pusat informasi dan media sehingga ada pengaruh dan timbal-balik antara Jakarta dengan keputusan-keputusan politik yang dibuat baik oleh partai politik maupun institusi lain.

Jadi bagaimana baiknya politik di Jakarta?

Tentang masalah konstelasi perpolitikan itu memang Undang-Undang mensyaratkan bahwa seluruh partai politik harus punya kantor pusat di Jakarta. Jadi ya tidak ada masalah.

Yang saya harapkan adalah ada komunikasi yang baik antarpartai politik. Contohnya, dalam pilkada itu selalu semua partai menunggu putusan dari rekomendasi DPP masing-masing. Kemudian ketika KPU menggelar proses pendaftaran pasangan calon (kepala daerah), dia akan mengklarifikasi ke kantor pusat partai di Jakarta.

Nah, bagi Jakarta ini menguntungkan. Jarak, koordinasi, komunikasi antara politik lokal di Jakarta dengan organisasi pusat akan lebih mudah.

Apa yang Anda suka dan tidak suka dari Jakarta?

Saya memang berasal dari daerah, Blitar. Saya jadi wali kota di sana 10 tahun dan saya bukan orang asli Blitar. Begitu saya ditempatkan, ditugaskan di satu daerah, maka pepatah mengatakan ‘Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.’ Maka saya harus menyatu dengan masyarakat di sana, lingkungannya, dengan semua kondisi sosial masyarakatnya.

Djarot lahir di Gorontalo, Sulawesi, Oktober 1955. Sebelum terjun ke dunia politik, Djarot merupakan dosen dan Pembantu Rektor I di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Jawa Timur, tahun 1997-1999.

Jakarta juga seperti itu. Banyak yang bisa saya cintai di Jakarta ini. Hampir semua saya suka meski ada beberapa juga yang saya tidak suka tentang perilaku, ketertiban masyarakat Jakarta yang masih rendah.

Misalnya, contoh paling gampang, buang sampah sembarangan, kemudian ketidaktertiban dalam lalu lintas. Hal-hal sederhana itu. Kenapa (tidak tertib)? Karena memang kondisinya, kepadatan penduduk Jakarta sudah luar biasa dan ini tantangan untuk bisa mengubah pola pikir mereka.

Oleh karenanya di Jakarta kan terkenal usaha kami (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta) membumikan lima tertib, mulai dari membuang sampah, lalu lintas, hunian, supaya penduduk tidak tinggal di bantaran sungai, PKL (pedagang kaki lim) supaya tertata rapi, sampai tertib demo.

Tapi kalau dibandingkan, lebih banyak yang saya sukai dari Jakarta. Masyarakatnya religius, plural, toleran, karena masyarakat Jakarta atau Betawi itu perpaduan dari banyak budaya. Ada unsur Tionghoa, Portugis, Belanda, Melayu, sehingga itu mendidik masyarakatnya untuk sangat toleran.

Kemudian masyarakat Betawi juga cinta pada lingkungan. Coba Anda lihat, hampir seluruh kawasan Jakarta dinamakan dengan nama flora dan fauna. Waduk-waduknya juga begitu. Misalnya ada Kebon Melati, Kebon Nanas, Kebon Pala, Menteng. Itu kan nama pohon semua. Jadi sebetulnya masyarakat Jakarta itu cinta kepada lingkungan.

Anda betah tinggal di Jakarta?

Betah banget. Bahkan anak saya yang masih kecil-kecil itu, saya suruh pilih, enak mana di Jakarta atau Blitar? Mereka lebih memilih di Jakarta. Saya suruh balik ke Blitar, “Sekolah saja di Blitar”, mereka bilang “Enggak ah, aku mau tetep sekolah di Jakarta aja, Yah.” Demikian juga istri saya.

Pada awal 2012 saya ajak ke Jakarta, dia (anak Djarot) agak kaget. Kagetnya begini, saya pernah ajak jalan-jalan ke Sawah Besar, bayangan dia sawahnya besar. Ketika sampai di sana, dia Tanya “Yah, katanya Sawah Besar, mana sawahnya?”

Waah, sawahnya sudah jadi gedung semua ini. Itu pertama kali dia masuk ke Jakarta. Biasanya kan dia melihat hijau-hijau sawah, sungai, pohon banyak. Di sini dia agak heran juga. “Waduh, gedungnya tinggi-tinggi,” katanya.

Katanya, “Yah, bagaimana kalau sampai ada kebakaran? Bagaimana kalau ada gempa bumi?” Ini pertanyaan anak kecil yang sebenarnya menginspirasi kita untuk betul-betul peduli kepada keamanan. Sekarang mereka sudah sangat suka di Jakarta.

Jadi dinamika yang ada di Jakarta itu betul-betul mengajari kita untuk: satu, menghargai waktu; dua, fokus dan bekerja keras; tiga, selalu menghadapi berbagai macam tantangan hidup. Jadi kalau ditanya suka atau tidak, ya saya suka banget (dengan Jakarta).

[Gambas:Video CNN]

Apa rencana Anda untuk Jakarta ke depannya?

Jakarta ini menghadapi berbagai macam tantangan. Kita membangun Jakarta itu kan bukan hanya untuk kepentingan satu, dua, lima tahun ke depan. Kita harus melihat Jakarta dengan bermimpi, memproyeksikan 50 tahun, 100 tahun lagi Jakarta akan seperti apa.

Sekarang yang terjadi adalah, lingkungan hidup di Jakarta ini termasuk paling buruk. Kemudian, berkurangnya secara drastis ruang terbuka hijau. Sungai-sungai kotor semua, permukaan tanah tiap tahun menurun.

Saya ingin ke depan, pertama, pembangunan Jakarta betul-betul menitikberatkan pada pelestarian lingkungan hidup untuk menjamin keberlangsungan Jakarta sampai 50 tahun ke depan.

Kedua, pola pembangunan di Jakarta harus berubah. Untuk pembangunan industri, industri berat terutama, sebaiknya tidak diletakkan di Jakarta, tapi digeser ke daerah tetangga, Banten misalnya. Dengan begitu akan ada keseimbangan antarprogram pembangunan di Jakarta.

Ketiga, penataan kawasan kampung kumuh. Di Jakarta ini income per kapita, GDP, itu tertinggi se-Indonesia. Tetapi itu diimbangi dengan tingkat ketimpangan yang juga tinggi sebesar sekitar 0,42 persen indeks rasionya. Nah, maka tantangan ke depan adalah bagaimana merevitalisasi kawasan kumuh itu.

Di Jakarta harusnya nanti pembangunan permukiman tidak bisa lagi secara horizontal, tapi vertikal guna membuka lahan terbuka hijau yang lebih banyak lagi. Sehingga kami banyak bangun rusunawa (rumah susun sederhana sewa) bagi keluarga kurang mampu untuk merevitalisasi kawasan kumuh, juga untuk menata kembali kawasan kumuh yang sudah dimulai oleh Pak Jokowi dengan membangun kampong deret.

Ini persoalan yang saya bayangkan untuk bagaimana Jakarta 50 tahun ke depan betul-betul menjadi ibu kota yang layak, manusiawi, dan nyaman untuk ditinggali.

(agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER