Jakarta, CNN Indonesia -- Pada 2011, Amrta Institute bekerja sama dengan Tifa Foundation menghitung penggunaan air tanah sektor komersial. Dari hasil penelitian ditemukan dugaan pencatatan air tanah pada saat itu hanya mencerminkan 7,3 persen dari data yang sesungguhnya. Artinya sekitar 92,7 persen konsumsi air tanah oleh sektor komersial belum dicatat oleh pemerintah.
Menurut Direktur Amrta Institute for Water Literacy, Nila Ardhianie, dengan sekitar 92,7 persen konsumsi air tanah oleh sektor komersial belum tercatat, artinya penerimaan pajak air tanah yang hilang sekitar Rp1,46 triliun.
Menurut Nila, penelitian berfokus pada penggunaan air tanah sektor komersial, karena penggunaan air tanah sektor komersial mayoritas menggunakan sumur bor yang mencapai kedalaman lebih dari 40 meter.
“Air di bawah kedalaman itu berada dalam kondisi kritis dengan membutuhkan masa pemulihan yang panjang,” kata Direktur Amrta Institute for Water Literacy, Nila Ardhianie, awal Maret lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbeda dengan penggunaan konsumsi rumah tangga yang menggunakan air sumur dangkal. Air sumur dangkal ini membutuhkan masa pemulihan yang lebih singkat. Akibat penggunaan air sumur yang massif, menyebabkan kerusakan lingkungan seperti penurunan permukaan tanah di Jakarta.
Berikut beberapa langkah perhitungan dalam penelitian Amrta Institute bekerja sama dengan Tifa Foundation:
Pertama, langkah awal penelitiannya, kata Nila, adalah menghitung jumlah total kebutuhan air bersih di DKI Jakarta dan sektor komersial.
“Saat ini belum ada data dari pemerintah yang menghitung berapa jumlah kebutuhan konsumsi air. Sehingga perhitungannya menggunakan standar konsumsi per orang dan mengalikannya dengan jumlah penduduk,” katanya.
Kedua, dari perolehan jumlah total kebutuhan air DKI Jakarta, Nila memperhitungkan angka kebutuhan air sektor komersial sebesar 30 persen. “Angka 30 persen itu jamak digunakan,” katanya.
Setelah mendapatkan angka kebutuhan air di sektor komersial, kata Nila, penghitungan selanjutnya mencari jumlah penggunaan air tanah sektor komersial. Penggunaan air tanah sektor komersial diketahui dengan pengurangan antara kebutuhan air sektor komersial dengan jumlah distribusi air PAM untuk sektor komersial.
Ketiga, penghitungan jumlah air tanah tidak tercatat dengan mengurangi antara penggunaan air tanah oleh sektor komersial dengan data pemakaian air tanah.
“Kami mendapatkan angka air tanah yang tercatat di pemerintah hanya mencerminkan 7,3 persen dari jumlah seluruhnya,” kata Nila. Dari pendapatan pajak air tanah sebesar Rp 121,9 miliar, maka potensi kerugian pajak adalah 13 kali atau sekitar Rp1,46 triliun.
Berdasarkan metode yang sama, CNNIndonesia.com menghitung penggunaan air tanah sektor komersial yang sesungguhnya pada 2015. Dari hasil perhitungan, pencatatan air tanah oleh sektor komersial di Dinas Tata Air diduga hanya mencerminkan 11,16 persen dari penggunaan sesungguhnya.
 Jumlah Pelanggan dan Pendapatan Pajak Air Tanah. (CNNIndonesia/Anggit Gita Parikesit) |
Dinas Tata Air DKI Jakarta mencatat penggunaan air tanah di sektor komersial sebesar 9,143 juta meter kubik dengan pendapatan pajak Rp 104 miliar. Dari perhitungan CNNIndonesia.com, kemungkinan penggunaan air tanah di DKI Jakarta sesungguhnya sekitar 81,9 juta meter kubik. Artinya potensi pendapatan yang belum terserap pemerintah sebesar Rp821,6 miliar. Nilai ini setara modal untuk pembangunan dua tower rumah susun berlantai 25.
Pencatatan air tanah yang belum mencerminkan data sesungguhnya disadari oleh Dinas Tata Air. Berdasarkan penelitian pada 2015 dengan metode simulasi numerik menunjukkan penggunaan air tanah di DKI Jakarta sekitar 140 juta meter kubik.
Angka penelitian itu menunjukkan pencatatan air tanah sektor komersial hanya mencerminkan 6,4 persen dari jumlah sesungguhnya, bila membandingkan dengan data pencatatan penggunaan air oleh pelanggan 2015. Bila dihitung, maka potensi pajak yang hilang sekitar Rp1,518 triliun.
(yul/sip)