Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota tim riset Masyarakat Air Indonesia, Fatchy Muhammad, bersikap kritis atas persoalan krisis air di DKI Jakarta. Pakar air lulusan Intitut Teknologi Bandung ini meminta pemerintah menyiapkan program mengatasi krisis air di ibu kota secara sistemik dan jangka panjang. Dia mengusulkan agar konservasi air dengan menampung air hujan dilakukan secara serius.
Berikut wawancara Fatchy dengan Gilang Fauzi dari CNNIndonesia.com.
Seberapa kritis kondisi air tanah di Jakarta?Kondisinya cukup kritis. Pengambilan air tanah semakin bertambah seiring pertumbuhan penduduk. Sementara pasokan air tanah saat ini malah makin berkurang karena manajemen pengelolaan air yang salah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Manajemen pengelolaan air yang salah seperti apa?Sumber air yang kita peroleh gratis yakni air hujan itu tidak dimanfaatkan secara maksimal. Padahal dengan ada sistem penampungan, di Jakarta saja bisa memenuhi kebutuhan 22 juta jiwa.
Tapi kenyataannya, dengan jumlah penduduk 10-12 juta jiwa di Jakarta, kita sudah kewalahan mendapatkan air baku. Saat ini air baku kita ambil dari daerah lain, atau dengan kata lain didapat dari daerah aliran sungai (DAS) yang berbeda.
Padahal cekungan di Jakarta itu meliputi delapan sungai, mulai dari kali CIliwung, Angke, Pesanggarahan, Grogol, Krukut, Mampang, Cipinang, dan Sunter. Jika manajemen air dikelola dengan baik, ada penampungan air hujan dan tidak secepatnya dibuang ke laut, itu sudah mencukupi kebutuhan lebih dari 22 juta orang, dengan asumsi setiap orang menghabiskan kebutuhan air minum sekitar 7,3 meter kubik pertahun.
Mengapa kita memiliki kebiasaan membuang air ke laut begitu saja?Air hujan yang di buang ke laut itu sebetulnya paradigma peninggalan Belanda. Setiap air hujan turun ke genteng masuk ke talang, langsung masuk ke selokan, langsung masuk ke riul, dari riul masuk ke sungai-sungai kecil, masuk ke kanal, dari kanal langsung dibuang ke laut. Pada saat air pasang, mereka menggunakan pompa lalu dibuang juga ke laut supaya tidak terjadi banjir.
Lalu bagaimana cara menampung air hujan?Banyak cara dan yang paling baik adalah secara alami. Seperti penghijauan dengan menanam pohon atau membuka ruang terbuka hijau (RTH). Tapi sekarang ini RTH Jakarta hanya 12 persen, seharusnya RTH sedikitnya 30 persen.
Selain itu terapkan cara buatan menangkap air hujan. Di rumah-rumah harus membuat sumur resapan, sedangkan di setiap taman dibangun biopori atau resapan dangkal.
Nah di gedung-gedung harus wajib membuat resapan dalam sampai ke lapisan akuifer yang tertekan. Cara itu sudah dibuktikan secara efektif di daerah Jakarta Selatan.
Air hujan yang di buang ke laut itu sebetulnya paradigma peninggalan Belanda. |
Di kawasan itu, biopori itu bisa menampung 100-200 liter perjam, kalau untuk resapan dangkal yang sampai dua meter itu bisa sampai 5-10 meter kubik per jam, sementara untuk sumur resapan dalam yang empat inci itu rangenya bisa sampai 7-12 meter kubik per jam.
Saat ini pemerintah provinsi DKI Jakarta punya sekitar dua ribu sumur resapan dengan kedalaman 3,6 meter. Apakah sumur resapan proyek pemerintah itu sudah bisa diandalkan untuk menampung air hujan?Itu tidak cukup. Untuk DAS Mampang saja yang panjangnya mencapai 32 kilometer persegi itu memerlukan ratusan ribu sumur resapan. Proyek 2.000 sumur resapan DKI itu idenya sudah bagus, hanya saja pekerjaan detailnya yang harus disupervisi.
Banyak penempatan sumur resapan di lokasi yang bukan menjadi alur air. Contoh air yang ditampung itu hanya sebatas satu meter persegi karena penempatannya di daerah yang lebih tinggi dari alur air.
Padahal satu sumur resapan itu targetnya bisa bisa menampung minimal 100 meter persegi air hujan. Selain itu, air hujan yang masuk itu terkadang membawa rumput atau terkadang daun-daun, sehingga menutup saluran. Jadi harus ada sedikit inovasi dalam hal perawatannya.
(yul/sip)