Jakarta, CNN Indonesia -- Di bawah sengatan matahari, seorang lelaki berusia 43 tahun berjalan cepat mengelilingi areal mal besar di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Ia adalah petugas honorer lapangan Dinas Tata Air yang pada Kamis (10/3) bertugas mencatat meteran penggunaan air tanah. Jurnalis CNNIndonesia.com mendapat kesempatan mengikutinya bertugas.
Sang petugas berkeliling areal di luar mal yang luasnya sekitar empat kali kavling perkantoran di pusat kota. Ada empat lokasi sumur air tanah yang diperiksanya. Masing-masing sumur berada di setiap pojok sudut terluar dari gedung.
"Semuanya nol meteran," ujarnya usai pengecekan. Tak lupa dia memotret hasil angka terakhir di meteran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nol meteran adalah istilah yang digunakan untuk menyebut tidak adanya penggunaan air tanah pelanggan. Sang petugas mencatat nol meter setelah membandingkan angka terakhir di alat meter dengan data penggunaan air bulan sebelumnya.
Ia lantas mencatat hasil pemeriksaan ke empat lembar nota surat bukti pencatatan air tanah. Setelah nota itu diteken dia dan pengelola gedung. Satu lembar nota akan diserahkan ke pengelola dan sisanya untuk pemerintah.
Dadang, petugas pengelola mal mengatakan pihaknya sudah jarang menggunakan air tanah. "Nol meteran itu sudah biasa," kata Dadang.
Menurut Dadang, tarif pajak tanah air yang tinggi hingga Rp23 ribu per meter kubik membuat pengelola berpikir berulang kali menggunakan air tanah. Selain itu, dia mengatakan, kualitas air tanah sudah tidak bagus.
Beberapa hari kemudian, CNNIndonesia kembali berjalan bersama sang petugas mencatat penggunaan air tanah di sebuah mal yang juga memiliki apartemen di kawasan Senayan, Jakarta Pusat.
Berdasarkan pemeriksaan di dua sumur, mal dan apartemen dengan luas hamper 5 hektar itu menggunakan air tanah hanya 14 meter kubik.
Menurut salah satu petugas yang tak mau disebutkan namanya pemakaian air tanah hanya sebagai cadangan. Pengelola gedung menyimpan di dalam bak raksasa ukuran 600 meter kubik. “Air tanah dalam bak itu selalu penuh, sebagai cadangan kalau air PAM bermasalah,” kata petugas itu.
Aktivis Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Reza, menduga nol meteran adalah modus pelanggan air tanah mengelabui catatan penggunaan air di meteran. "Bagaimana caranya, kita tidak pernah tahu," kata Reza.
Angka nol meteran ini semakin marak sejak pemerintah provinsi DKI Jakarta menerapkan tarif pajak pada 2009 yang lebih tinggi dua kali dari tarif air PAM.
Dinas Tata Air memastikan nol meteran ataupun zero consumption bukan sebuah persoalan selama angka penggunaan terkontrol dan dicatat petugas di lapangan.
"Meteran kami disegel, tidak mungkin ada yang bisa mengotak-atik," ujar Kepala Bidang Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Baku Dinas Tata Air, Dedi Krusfian, pertengahan Maret lalu.
 Jumlah Pelanggan dan Pendapatan Pajak Air Tanah. (CNN Indonesia/Anggit Gita Parikesit) |
Dinas Tata Air Jakarta memperkerjakan sekitar 20 petugas lapangan yang bertanggungjawab mencatat konsumsi air tanah dari 4.475 pelanggan. Pelanggan air tanah yang tercatat berasal dari kalangan komersial dan pemerintah. Pelanggan ini menggunakan sumur bor dengan kedalaman lebih dari 40 meter.
Setiap petugas lapangan bertanggung jawab atas pelanggan di 2-3 kecamatan. Petugas yang kami ikuti bertugas untuk dua kecamatan di Jakarta Pusat yang terkenal sebagai pusat bisnis dan permukiman elite kaum metropolis.
Berdasarkan pengakuannya, dia memegang 200 pelanggan dengan jumlah sumur air tanah sekitar 250 titik. Pemeriksaan alat meter air ke seluruh pelanggan, katanya dapat dikerjakan dalam waktu 20 hari.
“Setelah tugas selesai dari lapangan, pada akhir bulan saya ke kantor untuk memasukkan data ke komputer,” katanya.
Menurut sang petugas dalam sehari biasanya dia mengecek 10-15 gedung. Namun, ketika mengunjungi pelanggan bersama CNNIndonesia.com selama dua kali, ia hanya mendatangi 5-7 pelanggan dalam sehari. Alasannya ketika itu dia memiliki urusan mendesak.
Petugas lapangan yang ditemui CNNIndonesia.com mengaku dibayar dengan gaji Upah Minimum Regional DKI Jakarta sekitar Rp3,1 juta, telah bekerja empat tahun. Sebelum tugas pencatatan air dilimpahkan ke Dinas Tata Air sejak awal 2015, dia merupakan pekerja harian dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah.
Dedi menyatakan tak menutup kemungkinan terjadi manipulasi di lapangan. Sejak menjabat dua bulan lalu, Dedi menerapkan aturan bukti foto bagi petugas lapangan yang bekerja mencatat penggunaan air tanah.
"Kalau benar petugas mencatat sekian meter kubik, buktikan itu dengan foto di lapangan," kata Dedi.
Menurut salah satu pertugas lain di lapangan yang tak mau disebutkan namanya, menjepret meteran air membuat dia kerepotan. Tanpa aturan foto, petugas itu biasa menyiasati pencatatan tanpa perlu datang ke lokasi pelanggan.
"Biasanya cukup konfirmasi tanya lewat telepon ke pelanggan untuk catat penggunaan air tiap bulan. Sekarang repot, harus mengecek langsung," kata seorang petugas.
Dengan hanya konfirmasi dan tak mendatangi seluruh pelanggan, kata petugas itu, dia mampu menyelesaikan pencatatannya kurang dari dua minggu.
“Sisa waktu dua minggu bisa nyantai saja,” katanya.
(yul/sip)