Jakarta, CNN Indonesia -- Penurunan muka tanah jadi alasan di balik rencana pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall di bibir pantai utara, Teluk Jakarta. Megaproyek itu dicanangkan sebagai program berskala nasional dan ditaksir makan biaya Rp560 triliun.
Staf Khusus Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Firdaus Ali menyebut, penggunaan air tanah berlebih menjadi salah satu penyebab utama yang membuat Jakarta ambles. Jika konsumsi air tanah dibiarkan tidak terkendali, praktisi bioteknologi lingkungan itu punya prediksi tahun 2050 bibir pantai utara Jakarta akan berada di Monas.
Ancaman yang diramalkan oleh Firdaus berangkat dari data penurunan muka tanah di sejumlah titik Jakarta Utara yang tercatat mencapai hingga 18 sentimeter pertahun. Ketika muka tanah turun, pada saat yang bersamaan muka air laut naik hingga 6 milimeter pertahun.
Menurut Firdaus, tanggul laut sebuah keniscayaan untuk mencegah rob membanjiri Jakarta terutama bagian utara. Tanggul juga dia yakini bisa diandalkan sebagai penampungan air dan penyediaan air baku warga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini adalah solusi terbaik secara enginering. Jika ada yang ingin bantah, boleh ahli sejago apapun datang ke saya, mari kita berdebat," ujar Firdaus di Balai Kota dalam diskusi memperingati Hari Air Sedunia, Selasa (22/3).
Pakar tata kota Yayat Supriatna mempertanyakan kematangan kajian tanggul laut. Dia khawatir optimisme dari semangat pembangunan tanggul tidak dibarengi dengan pertimbangan lain berkaitan dampak sosial, lingkungan, dan tata kota itu sendri.
"Apakah ini memang solusi bagi ancaman banjir laut atau hanya untuk membuka ruang investasi baru?" ujar Yayat dalam diskusi terpisah yang juga menghadirkan Firdaus sebagai pembicara di Kota Tua, pekan sebelumnya.
Firdaus mengakui kajian untuk rencana pembangunan tanggul raksasa masih dirembukkan dengan dua negara yang akan menjadi mentor, Belanda dan Korea Selatan. Dia hanya bisa berharap proyek berlabel Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (NCICD) itu bisa mulai digarap pada 2020.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sudah bertandang ke dua negara yang kini membantu Indonesia dalam menggodok rancangan utama pembangunan tanggul. Dia menyimpulkan konsep tanggul pemecah ombak di Saemangeum tidak cocok diterapkan untuk tanggul Jakarta. Ahok, sapaan Basuki, menilai tanggul Rotterdam lebih punya banyak kemiripan fungsi dengan yang dibutuhkan Jakarta.
Bagaimanapun, Ahok juga masih menyangsikan kesiapan kajian dari rencana pembangunan tanggul raksasa. "Secara pribadi saya masih tidak yakin dengan proyek itu," kata Ahok sambil menggeleng-gelengkan kepala saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com
Peneliti air Fatchy Muhammad tidak sepakat tanggul laut jadi solusi menghadang rob. Alih-alih membendung air laut, pengisian ulang kembali air tanah dianggap lebih dapat diandalkan untuk mendesak kembali intrusi ke laut.
Menurut Fatchy, air hujan yang turun di Jakarta setiap tahunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dua kali lipat penduduk yang ada di Jakarta. Sialnya, kata dia, air hujan itu tidak termanfaatkan karena buruknya sistem horizontal drainase yang membuat air hujan dengan cepat dibuang ke laut.
Solusi yang ditawarkan olehnya sangat sederhana: semua rumah, gedung, dan ruang terbuka harus memiliki sumur resapan. "Air di bumi itu tetap. Muka air laut naik karena air yang di daratan dibuang semua, bukannya diserap," kata Fatchy.
Dampak giant sea wall ke depannya justru malah akan memperparah banjir di Jakarta. |
Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air menduga keberadaan tanggul bukan untuk menyelamatkan warga pesisir dari rob atau mencari solusi ketersediaan air. Niatan pembangunan tanggul justru dianggap tidak lain untuk menopang pulau-pulau reklamasi yang akan menjadi kompleks bancakan para pengusaha swasta. "Hati-hati banyak spin doctor," kata aktivis KRuHA, Reza.
Ketua Kelompok Keahlian Teknik Kelautan Intitut Teknologi Bandung Muslim Muim menanggapi rob sebagai fenoma alam biasa di mana muka air laut tinggi. Rob akan menjadi banjir karena terjadinya penurunan tanah. Namun, katanya, tidak semua daerah Jakarta mengalami penurunan, contohnya Tanjung Priuk.
"Dampak giant sea wall ke depannya justru malah akan memperparah banjir di Jakarta, merusak lingkungan laut Teluk Jakarta, mempercepat pendangkalan sungai, mengancam sektor perikanan lokal, dan menyebabkan permasalahan sosial," ujar Muslim.
(gil/sip)