Jakarta, CNN Indonesia -- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 menuding Tentara Nasional Indonesia berada di balik upaya pembubaran lokakarya yang mereka selenggarakan di Cimacan, Cianjur, Jawa Barat kemarin.
Bedjo Untung, pegiat yayasan yang menaungi komunitas korban Tragedi 1965 itu, menyebut para koleganya mengungkapkan sejumlah kecurigaan terhadap institusi militer.
"Tentara sejak awal memang tidak ingin membuka kasus 1965," ujar Bedjo di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Jumat (15/4).
Bedjo berkata, berkaca pada upaya pembubaran kegiatan-kegiatan YPKP sebelumnya, lembaganya merancang lokakarya secara tersembunyi. Mereka tidak menggunakan layanan pesan singkat daring maupun surat elektronik, melainkan surat-menyurat konvensional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan tahanan politik Orde Baru itu berkata, YPKP memilih metode konvensional agar informasi penyelenggaraan lokakarya di Cianjur tidak bocor ke kelompok intoleran.
Namun menurut Bedjo, sejumlah anggota YPKP merasakan pengawasan dari sejumlah agen intelijen.
Agus Wijaya, anak korban Tragedi 1965, menyatakan hal serupa. "Sebelum ada undangan ke lokakarya, saya ditelepon agen intelijen koramil dan korem," ujarnya.
Agus heran karena orang-orang tertentu yang meneleponnya telah mengetahui wacana lokakarya YPKP. "Saya belum tahu waktu dan tempat lokakarya, tapi mereka sudah tahu," tuturnya.
YPKP batal mengadakan lokakarya di Cianjur akibat penolakan sejumlah organisasi masyarakat seperti Forum Pembela Islam, Pemuda Pancasila dan Forum Komunikasi Masyarakat Cianjur.
Para anggota YPKP yang rata-rata telah berusia lanjut itu lantas diungsikan ke sejumlah lokasi di Jakarta, satu di antaranya adalah kantor YLBHI.
Menurut perkiraan Bedjo, massa yang mendatangi wisma tempat anggota YPKP menginap berjumlah lebih dari seribu orang. Pada saat yang sama, personel kepolisian dan militer turut hadir di wisma itu.
Kepolisian, kata Bedjo, menerjunkan ratusan personel dan sejumlah kendaraan taktis barakuda.
Sehari sebelum kejadian itu, Bedjo mengaku telah bertemu dan menyerahkan surat pemberitahuan agenda YPKP kepada Kapolsek Cimacan.
"Dia (Kapolsek) menerima dan menjamin keberadaan kami," kata dia.
Bedjo pun menuturkan, saat massa mengepung lokasi lokakarya YPKP, Kapolsek Cimacan dan Kapolres Cianjur, datang dan berbicara dengan perwakilan komunitas korban 1965 itu.
Kapolres Cianjur, Ajun Komisaris Besar Asep Guntur Rahayu, kata Bedjo, mengabarkannya bahwa massa datang dari beberapa wilayah seperti Bandung dan Cianjur.
"Anehnya, personel polisi dan tentara masuk ke wisma, melobi kami, intinya karena masyarakat tidak menghendaki acara, maka tidak diperkenankan," tutur Bedjo.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Muhammad Isnur, menyebut pemerintah wajib mengungkap berbagai pengekangan kebebasan berkumpul komunitas korban 1965.
Melihat jumlah massa ormas yang besar di lokasi lokakarya YPKP, Isnur menduga pembubaran tersebut telah direncanakan oleh kelompok tertentu.
"Mengumpulkan seribu orang itu butuh koordinasi dan biaya. Harus dicari siapa yang menyokong dana mereka," ujarnya.
YPKP menggelar lokakarya di Cianjur dalam rangka menghadiri Simposium Nasional Tragedi 1965 di Jakarta, awal pekan depan.
Bedjo berkata, panitia simposium telah mengirimkan undangan resmi kepada mereka.
Pada lokakarya yang urung berlangsung itu, YPKP rencananya akan membahas sikap mereka terhadap simposium gagasan Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang disokong Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan serta Komnas HAM tersebut.
Hingga berita ini diturunkan, CNNIndonesia.com masih berupaya mengkonfirmasi otoritas TNI dan Polri terkait berbagai tudingan yang diarahkan kepada mereka.
(sur)