Jakarta, CNN Indonesia -- Usaha memperluas daratan atau reklamasi tak hanya dilakukan Indonesia. Negara tetangga, Singapura sudah mulai melakukannya sekitar 40 tahun silam. Proyek itu bahkan masih berlanjut hingga saat ini dan diperkirakan berakhir pada 2030.
Reklamasi itu dicanangkan oleh Bapak Singapura yang juga merupakan Perdana Menteri pertama Lee Kuan Yew pada 1976.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), sebelum diubah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menilai kondisi geografis reklamasi di Singapura berbeda dengan Jakarta. Singapura menggunakan teknologi canggih dalam melakukan reklamasi, sehingga tidak menyebabkan dampak di negara tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum memulai reklamasi, wilayah Singapura justru mengalami banjir layaknya Jakarta.
"Namun sejak saat itu hingga kini, Singapura dapat dikatakan bebas dari bencana banjir. Di samping itu, teknologi reklamasi yang mereka lakukan dapat menjamin tidak terjadi banjir," demikian seperti dikutip CNNIndonesia.com dari laman resmi KLH, Kamis (14/4).
Laman itu menyebut, sistem drainase di Singapura sudah sangat mapan yang merupakan hasil sinergi pemerintah dengan proyek reklamasi pengembang. Berbeda dengan Indonesia, banyak proyek dengan sistem drainase bagus tetapi menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitar.
"Seperti Pantai Indah Kapuk, akibat tidak ada dukungan pemerintah untuk membenahi sistem drainase di luar (tempat itu)," tulis laman tersebut.
Proyek reklamasi di Singapura yang dipusatkan di pantai barat dan timur itu, membutuhkan delapan miliar kubik pasir yang akan menambah luas wilayah negara itu sebanyak 260 km persegi. Luas wilayah Singapura sudah bertambah dari 633 kilometer persegi pada 1991 menjadi 716 km persegi saat ini.
Reklamasi di Singapura bukan tanpa masalah. Indonesia menjadi salah satu negara yang dirugikan. KLH menyebut, reklamasi di Singapura menyebabkan kerugian besar bagi Indonesia dari berbagai macam aspek.
"Reklamasi Singapura dengan mengimpor pasir dari Riau dalam kurun waktu 24 tahun (1978-2002) telah menimbulkan banyak kerugian, bukan saja aspek teritorial tapi juga ekonomi, perdagangan dan lingkungan hidup," mengutip laman yang sama.
KLH mencatat, kerugian yang dialami Indonesia mencapai Sin$42,38 miliar. Setiap hari, ada 29 kali kapal hilir mudik pembawa ribuan meter kubik pasir laut dari Riau menuju Singapura. Kapal tersebut berkapasitas muat berkisar antara 1.000-4.000 meter kubik sekali angkut.
Akibat mengambil pasir dari daratan Indonesia, luas wilayah Singapura maju sejauh 12 km ke arah perbatasan Indonesia mendekati pulau terluar, Pulau Nipah, Kepulauan Riau. Perairan di pulau tersebut mengalami kenaikan yang menyisakan daratan beberapa meter dari permukaan laut.
"Wilayah perairan internasional termasuk lebar jalur pelayaran antara Singapura dan Batam akan tergeser. Perubahan itu otomatis juga akan menggeser masuk wilayah perairan Indonesia, karena lebar jalur pelayaran dihitung dari titik terluar garis pantai," tulis laman yang sama.
Singapura juga mengambil pasir dari Malaysia. Namun Malaysia justru meminta Mahkamah Laut Internasional menghentikan reklamasi itu dengan alasan menghancurkan lingkungan laut negeri jiran itu.
(Baca:
Raperda Ditunda Reklamasi Terlunta)
Terkait reklamasi Singapura, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama membandingkan situasi negara itu dengan Jakarta. Ahok—sapaan Basuki—menyayangkan reklamasi Jakarta yang terhambat padahal tak memiliki persoalan dengan luas wilayah.
Sebaliknya Singapura, kata Ahok, justru ingin melanjutkan reklamasi namun terkendal batas wilayah dengan negara lain.
"Singapura kalau enggak terbatas di negara lain, dia reklamasi terus, udah mentok itu. Hong Kong mau reklamasi terus udah terlalu dalam. Yang penting, keuntungan ini untuk rakyat atau untuk segelintir orang, pertanyaannya itu sebetulnya," ujar Ahok, 13 April lalu.
(rdk)