LIPUTAN KHUSUS

Kisah Salatun, 'Pembisik' Sukarno di Balik Armada Pengebom RI

Anggi Kusumadewi, Resty Armenia | CNN Indonesia
Rabu, 20 Apr 2016 12:33 WIB
Istana bukan tempat asing bagi Jacob Salatun, Sekretaris Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional 1956-1968. Ia kerap diundang ke Istana oleh Sukarno.
Pesawat pengebom strategis Tupolev Tu-16 buatan Soviet yang dimiliki Angkatan Udara RI pada awal 1960-an. (Dok. DefenseImagery.mil via Wikimedia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Istana Merdeka bukan tempat asing bagi Jacob Salatun, Sekretaris Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (Depanri) periode 1956-1968. Ia kerap diundang ke Istana untuk dimintai pendapat oleh Presiden Sukarno.

Salatun kala itu juga menjabat Penasihat Ilmiah Panglima Angkatan Udara RI Marsekal Omar Dhani. Pengetahuan luas di bidang kedirgantaraan membuat pria lulusan Sekolah Ilmu Siasat AURI dan US Armed Forces Information School itu menjadi salah satu tempat bertanya Sukarno.

“Ayah sering dipanggil ke Istana sama Bung Karno. Mereka jadi dekat karena ayah Sekretaris Depanri,” kata Adi Sadewo, putra Jacob Salatun, kepada CNNIndonesia.com di kediamannya, Jakarta Timur, Rabu (23/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adi yang waktu itu remaja umur belasan tahun, ingat Sukarno kerap bicara dalam bahasa Jawa kepada ayahnya yang kelahiran Banyumas, Jawa Tengah.

“Bung Karno sering bertanya, ‘Opo kuwi?’ ‘Opo iki, Tun?’” ucap Adi menirukan.

Salatun memulai karier di AURI (dulu bernama Tentara Keamanan Rakyat Jawatan Penerbangan) bersama Nurtanio Pringgoadisurjo dan Wiweko Soepono. Ketiga orang ini dikenal sebagai tiga serangkai perintis kedirgantaraan Indonesia.

Nurtanio di kemudian hari menjadi Direktur Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) yang merupakan cikal bakal Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), dan Wiweko menjabat Direktur Utama Garuda Indonesia.

Sementara Salatun yang merintis Dinas Penerangan AU ialah pendiri Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Ia mengajukan proposal komprehensif dan meyakinkan Depanri dengan gigih tentang perlunya pembentukan badan pelaksana di bidang penerbangan dan antariksa.

Perintis antariksa Indonesia, Jacob Salatun (berkacamata, kemeja cokelat, empat dari kanan). (Dok. Pribadi)
“Lapan memang ayah saya yang bikin. Bung Karno tinggal tanda tangan,” kata Adi.

Gagas beli jet pengebom

Salatun adalah otak di balik pembelian pesawat pengebom strategis Tupolev Tu-16 buatan Uni Soviet oleh rezim Sukarno. Tu-16 menjadikan Indonesia negara keempat di dunia yang mengoperasikan jet pengebom selain Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet.

Pada era awal 1960-an, Indonesia merupakan salah satu negara dengan armada militer terkuat di jagat. Teknologi dan alat utama sistem senjata (alutsista) asal Uni Soviet menjadi penyokong utama kekuatan tempur RI.

Skuadron udara Indonesia jadi yang paling mematikan di belahan bumi selatan. Berbagai jenis pesawat asal Uni Soviet berjajar di Pangkalan Udara Maospati, Madiun, Jawa Timur (kini Lanud Iswahjudi).

Indonesia saat itu memiliki 20 jet tempur supersonik Mikoyan-Gurevich MiG-21, 49 pesawat tempur high-subsonic MiG-17, 10 jet tempur supersonik bermesin ganda MiG-19, 30 pesawat tempur high-transonic MiG-15, dan 24 pesawat pengebom Tupolev Tu-16.

Mikoyan-Gurevich MiG-17. Ada 49 pesawat tempur jenis ini yang dimiliki Indonesia pada awal 1960-an. (Stuart Seege via Wkimedia)
Pesawat tempur AURI yang berjumlah lebih dari 100 unit tersebut seluruhnya buatan Uni Soviet. Saat itu Uni Soviet memang memberi pinjaman dana kepada Indonesia untuk pembelian alutsista. Di sisi lain, Amerika Serikat menolak permintaan Indonesia untuk membeli alutsista dari mereka.

Pembelian jet pengebom jarak jauh Tu-16 adalah ide Salatun. Waktu itu TNI menghadapi pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Sementara pesawat pengebom yang ada hanya North American B-25 Mitchell buatan AS untuk jarak menengah.

B-25 bukan pengebom strategis. Angkatan Udara RI kala itu mengeluhkan daya jelajah terbatas pesawat tersebut membuat pangkalan harus digeser. Pun peralatan pendukung mesti diboyong. Operasi B-25 yang tak efektif diperparah dengan aksi AS mengembargo suku cadang militer terhadap Indonesia.

Kondisi memburuk kala Permesta di Sulawesi membentuk kekuatan bernama Angkatan Udara Revolusioner (Aurev) untuk menguasai langit Indonesia guna mempermudah laju pasukan mereka dalam melancarkan serangan ke berbagai wilayah timur Indonesia.

Aurev menjadikan Lanud Tasuka di Sulawesi Utara sebagai markas. Mereka dilengkapi dua pesawat pengebom jarak jauh North American P-51 Mustang, tiga pesawat pengebom ringan Douglas A-26 Invader, empat pesawat pengebom medium Martin B-26 Marauder, dua pesawat angkut Curtiss C-46 Commando, pesawat angkut Lockheed 12, pesawat angkut militer Douglas C-47 Dakota, dan pesawat angkut Douglas C-54 Skymaster.

Seluruh armada Aurev itu berasal dari Amerika Serikat. Pesawat pengebom A-26 Invader bahkan diterbangkan langsung dari Pangkalan Udara AS di Luzon, Filipina. Sementara tambahan 15 pesawat pengebom B-26 Marauder disiapkan Aurev di Filipina.

Di tengah situasi gawat itu, Marsekal Muda Salatun pada tahun 1957 melihat gambar Tupolev Tu-16 di majalah penerbangan asing. Ia langsung berpikir, Indonesia mesti membeli jet pengebom itu. Salatun pun menghadap KSAU Marsekal Suryadi Suryadarma. Mereka terlibat dialog serius.

“Dengan Tu-16, awak kita bisa terbang setelah sarapan pagi menuju sasaran terjauh, dan kembali sebelum makan siang,” kata Salatun kepada Suryadi seperti diceritakan Majalah Angkasa.

“Bagaimana pangkalan (untuk Tu-16),” ujar Suryadi. “Pakai Kemayoran yang mampu menampung pesawat jet,” jawab Salatun.

Usul Salatun disetujui dan landasan pacu Lanud Iswahjudi di Madiun diperpanjang untuk ikut menyambut kehadiran pesawat pengebom itu. Namun proses pembelian berliku, membutuhkan waktu empat tahun sebelum Tu-16 pertama kali mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, pada 1 Juli 1961.
Tu-16 yang mampu membawa bom dalam jumlah besar tak pelak membuat Angkatan Udara RI ditakuti dunia. Padahal semula Uni Soviet keberatan dengan permintaan Indonesia membeli Tu-16.

Duta Besar Uni Soviet untuk Indonesia, DA Zhukov, pada akhir 1950-an mengatakan kepada Presiden Sukarno bahwa Tu-16 masih pada tahap pengembangan dan belum siap dijual. Meski demikian, Sukarno berkeras.

Di balik sikap keras hati Sukarno itu, Salatun berperan penting. “Saya ditugasi (KSAU) Pak Surya menagih janji Bung Karno (membeli Tu-16) tiap ada kesempatan.”

Salatun juga ikut dalam rombongan delegasi pimpinan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal AH Nasution yang ditugasi Sukarno untuk ke Moskow membeli senjata. Saat itulah Uni Soviet setuju menjual Tu-16 kepada Indonesia.

Kegigihan Salatun ‘membisiki’ Sukarno akhirnya berujung pada kedatangan satu skuadron Tu-16 berisi 24 pesawat secara bergelombang ke Jakarta. Pesawat-pesawat itu menjadi kekuatan sekaligus kartu as Indonesia dalam memenangi operasi pembebasan Irian Barat melawan Belanda.

Berintuisi tajam

Salatun memiliki insting kuat. Ketajaman nalurinya pernah secara tak langsung menyelamatkan Nurtanio, sahabatnya. Kala itu Nurtanio yang menjabat Direktur Pemeliharaan dan Kepala Teknologi Udara AU berencana menguji terbang pesawat buatannya, Sikumbang, dari Bandung ke Yogyakarta.

Salatun kemudian bermimpi Sikumbang jatuh. Ia sadar tak mungkin membatalkan niat Nurtanio terbang dengan Sikumbang hanya karena mimpi. Salatun pun mencari akal.
Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Biro Penerangan AURI, Salatun lantas menghadap KSAU Suryadi Suryadarma. Dengan hati-hati, ia meminta KSAU mempertimbangkan kembali rencana Nurtanio. Salatun bertanya halus, apa hasil dari menerbangkan Sikumbang ke Yogya akan sebanding dengan risikonya, sebab Nurtanio satu-satunya pembuat pesawat yang dimiliki AU saat itu.

Maka betapa kesalnya Nurtanio ketika ia sudah memakai harnes parasut dan siap masuk ke kokpit Sikumbang, sekretaris pribadinya berlari tergopoh-gopoh menghampiri untuk menyampaikan kabar dia dilarang terbang ke Yogya oleh KSAU.

Untuk menghalau kejengkelannya, Nurtanio tetap lepas landas bersama Sikumbang. Namun mereka cuma terbang berputar-putar di langit Bandung, sekitar Lanud Husein Sastranegara.

Sikumbang, pesawat tempur antigerilya buatan Nurtanio Pringgoadisurjo. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Setengah jam kemudian, mesin Sikumbang mati dan Nurtanio mendarat. Nurtanio pun berpikir, andai jadi terbang ke Yogya, ia sudah pasti akan mendarat darurat di wilayah yang dikuasai pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Nurtanio menceritakan hal itu kepada Salatun beberapa hari kemudian saat mereka bertemu. Salatun hanya tersenyum, namun tak memberi tahu Nurtanio larangan terbang ke Yogya itu bemula dari mimpinya semata.

Kisah Salatun soal nalurinya atas Nurtanio itu ia tulis dalam artikel berjudul Nurtanio dalam Kenangan yang dimuat di Angkasa, Juli 2000. Angkasa ialah majalah kedirgantaraan terbitan Dinas Penerangan TNI AU yang kini di bawah Kompas Gramedia. Di media itu, Salatun pernah menjadi Pemimpin Umum.

Intuisi atas semesta pula yang membuat pria kelahiran Mei 1927 itu menaruh perhatian pada antariksa, termasuk unidentified flying object (UFO) yang dalam bahasa awam lebih dikenal dengan sebutan piring terbang.

Selaku pendiri Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Salatun mengukuhkan diri sebagai perintis antariksa Indonesia. Ia memprakarsai pengembangan roket pertama Indonesia, Kartika I, yang sukses meluncur pada 14 Agustus 1964.

Ketika astronot AS Neil Armstrong pertama kali menjejakkan kaki di bulan pada 21 Juli 1969, Salatun melaporkannya langsung via Voice of America dari Pusat Pengendali Antariksa AS National Aeronautics and Space Administration (NASA) di Houston, Texas, yang kemudian disiarkan oleh Radio Republik Indonesia.

Di masa sepuhnya, Salatun kerap berkumpul bersama para sahabat di kediamannya, Menteng, Jakarta Pusat. Di antara mereka ialah Wiweko Soepono dan Suharto. Orang-orang ini bergerak di industri penerbangan dan sama-sama kawan almarhum Nurtanio.

“Kalau sedang kumpul, kami mengobrol aneh-aneh. Bicara (Mahapatih Majapahit) Gajah Mada sampai piring terbang yang dianggap orang lain nonsense. Yang jelas kami semua senang pesawat terbang,” ujar Suharto yang kini berusia 83 tahun.

Ia satu-satunya yang masih hidup di antara para karibnya itu. Sementara Salatun yang mendirikan Klub Studi UFO Indonesia serta menelurkan buku Ke Udara, Sejarah Penerbangan, Putra Angkasa, Menyingkap Rahasia Piring Terbang, dan UFO: Salah Satu Masalah Dunia Masa Kini, wafat pada Februari 2012.
(agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER