Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Syaifullah Tamliha mengatakan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Sejarah yang digelar hari ini dan besok Selasa, dapat membuka luka yang semestinya tidak perlu dilakukan.
Menurut Syaifullah yang komisinya di antaranya membidangi pertahanan dan intelijen itu, sebaiknya tidak digelar simposium dengan tema seperti itu secara formal.
“Silakan berdiskusi tapi jangan dalam forum-forum resmi seperti simposium seperti itu. Tidak perlu dibuat simposium secara terbuka soal tragedi 1965,” kata Syaifullah kepada CNNIndonesia, Senin (18/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Syaifullah biarlah peristiwa berdarah itu tenggelam ditelan perjalanan waktu dan menjadi catatan sejarah yang sangat berharga bagi bangsa ini ke depannya. “Biarlah nanti generasi muda membaca dari referensi-referensi yang ada untuk pembelajaran dan biarlah upaya rekonsiliasi berjalan secara normatif,” tuturnya.
Anggota DPR dua periode dari Partai Persatuan Pembangunan itu mengatakan para korban dan juga keluarga korban saat ini juga sudah tidak ada perselisihan atas peristiwa yang sudah sangat lama terjadi itu.
“Saya dari keluarga Nahdlatul Ulama selama ini juga berteman baik dengan pihak-pihak yang dulunya terlibat atau menjadi korban dari tragedi 1965,” ujarnya. “Saya menjadi korban dari pihak keluarga NU. Kakek saya di Kalimantan zaman itu sudah disiapkan lubangnya oleh PKI,” lanjut politikus asal Kalimantan Selatan itu.
Syaifullah menambahkan, peristiwa berdarah 1965 melibatkan tiga kekuatan yang pada masa itu mengalami gesekan yaitu NU, TNI AD, dan PKI. “Sekarang ini jangan coba membenturkan institusi TNI, dalam hal ini Angkatan Darat, dengan rakyat,” kata dia.
Islah NasionalDewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) menyatakan peristiwa 1965 adalah tragedi kelam bangsa ini yang tidak boleh terulang. “Karena Pancasila sudah final dan tidak serta merta jangan pernah ada upaya mengubah itu,” kata Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi DPP KNPI Paul Hutajulu dalam keterangannya kepada CNNIndonesia, Senin (18/4).
Paul menyatakan peristiwa 1965 memakan korban anak bangsa sendiri yang oleh karena itu seluruh komponen bangsa harus menjadikan hal ini sebagai proses pembelajaran tanpa harus menyalahkan ataupun melakukan pembenaran sepihak.
Seluruh komponen anak bangsa, lanjut dia, harus melakukan islah nasional dan menutup kontroversi yang terjadi selama ini dengan komitmen kuat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa berlandaskan Pancasila.
“Saya tidak setuju untuk semakin memperluas kasus ini sampai kepada pengadilan internasional karena hal ini jauh dari semangat kebersamaan dan rekonsiliasi serta justru memperburuk keadaan dan mencoreng nama bangsa,” tutur Paul.
Dia menambahkan, simposium yang diinisiasi pemerintah perlu didukung dengan harapan output-nya adalah islah nasional dan rekonsiliasi menyeluruh demi masa depan bangsa yang lebih baik.
(obs)