Simposium 1965: Bantahan TNI dan Tuntutan Proses Hukum

Abraham Utama | CNN Indonesia
Senin, 18 Apr 2016 18:48 WIB
Hari pertama Simposium Tragedi 1965, mantan pembesar TNI membantah keterlibatan militer pada kasus 1965. Di sisi lain, korban bersikukuh pada penegakan hukum.
(Dari kiri) Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkumham Yasonna Laoly, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Jaksa Agung Prasetyo, dan Ketua Panitia Pengarah Simposium Tragedi 1965 Agus Widjojo menghadiri Simposium Nasional yang bertema
Jakarta, CNN Indonesia -- Simposium Nasional Tragedi 1965 hari pertama, Senin (18/4) selesai digelar petang tadi. Dari empat sesi dialog, fakta penderitaan korban pelanggaran hak asasi manusia itu terungkap, baik mereka yang dianggap bagian dari Partai Komunis Indonesia maupun keluarga jenderal korban peristiwa G30S.

Tidak hanya dari sisi korban, simposium juga memperdengarkan kesaksian para jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (kini Tentara Nasional Indonesia) yang kala itu menjabat, yaitu Sintong Pandjaitan. 

Sintong ketika itu merupakan perwira pertama Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (kini Komando Pasukan Khusus).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada pidatonya, Sintong membantah operasi institusinya di Jawa Tengah menelan banyak nyawa. Menurutnya, RPKAD saat itu hanya menyebabkan satu korban terbunuh.

Secara berapi-api, Sintong menyatakan keheranannya dengan klaim korban sebanyak 500 ribu jiwa yang dipaparkan sejumlah lembaga advokasi HAM.
Di sisi lain, sejumlah korban Tragedi 1965 satu per satu menyuarakan pengalaman tragis mereka: pemenjaraan tanpa proses peradilan, kehilangan sanak-saudara hingga pemecatan lembaga tempat mereka bekerja.

Sejumlah putra-putri tokoh nasional yang menjadi korban Tragedi 1965 pun buka suara. Mereka menceritakan perjuangan mereka menghadapi stigma negatif hingga persahabatan antara anak jenderal dan anak petinggi PKI. 

Catherine Pandjaitan, anak Donald Isaac Panjaitan, bercerita bagaimana ia memiliki ikatan erat dengan anak petinggi PKI Nyoto, Svetlana Nyoto. 

"Saya peluk mereka, saya minta maaf, saya tidak tahu mereka lebih sakit daripada saya. Betapa indahnya kalau dapat bermaaf-maafan," ucap Catherine. 
Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan pemerintah wajib meminta maaf atas kekeliruan yang dilakukan negara pada Tragedi 1965. Permintaan maaf itu menurutnya tak bisa diwakilkan.

Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan misalnya, kata Asvi, tidak memiliki kapasitas untuk meminta maaf. "Yang (mesti) meminta maaf adalah Presiden Jokowi, bukan Luhut," ucap Asvi.

Pada penyelenggaraan simposium hari kedua, Selasa (19/4), empat sesi dialog akan digelar. Keempat sesi tersebut akan diakhiri sebuah refleksi penutupan.

Tajuk yang akan digali pada simposium besok antara lain tentang konstruksi ingatan Tragedi 1965, masyarakat Indonesia pada masa reformasi dan masa depan.

Pembicara pada sesi-sesi itu merupakan pegiat HAM, mantan jenderal TNI, petinggi organisasi keagamaan dan korban 1965, seperti Putu Oka Sukanta, Galuh Wandita, Kumala Chandrakirana dan Marsudi Suhud.
(abm)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER