Jakarta, CNN Indonesia -- Beribu kisah dari periode kelam 1965 bertaburan di acara Simposium Nasional Membedah Tragedi yang digelar di Jakarta dua hari lalu. Salah satu narasi datang dari Kusnendar, pria 83 tahun yang dipenjara sembilan tahun di Pulau Buru, Maluku –lokasi pembuangan para tahanan politik 1965.
Pria berperawakan kecil itu berjalan agak bungkuk saat ditemui wartawan CNNIndonesia.com, Prima Gumilang, di sela Simposium. Meski seluruh rambut Kusnendar telah memutih, ingatannya tak lapuk. Suaranya pun jernih dan lantang.
Kusnendar bercerita gamblang tentang apa yang ia alami 50 tahun lalu, tentang sembilan tahun hidupnya yang melayang. Berikut kisah Kusnendar seperti dituturkan langsung olehnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya dulu bekerja di Departemen Perindustrian Rakyat sebagai pegawai personalia di Akademi Perusahaan. Pada 1965, saya dianggap ikut grupnya SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan Pemuda Rakyat.Namanya di kampung, melihat teman pemuda punya klub bulu tangkis, saya ikut kelola pelatihan bulu tangkis –dan dianggap bergabung dengan Pemuda Rakyat.
Pemuda Rakyat ialah sayap pemuda Partai Komunis Indonesia. Organisasi yang keanggotaannya mencapai sekitar 3 juta orang pada tahun 1965 itu kemudian diberangus bersama PKI pada 1965-1966.
Saya dituduh itu (bergabung dengan Pemuda Rakyat), saya menolak. Tanggal 10 Oktober 1965, saya sedang bekerja di kantor, Jalan Karang Anyar Nomor 55, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Saya sedang kerja dan disuruh pulang oleh adik saya karena keluar saya mau dibawa ke kantor polisi di Cikini. Katanya saya dicari di kampung. Kalau enggak pulang, istri saya akan dibawa. Saat itu anak saya baru lahir, umur lima bulan.Akhirnya saya pulang. Waktu lagi tidur-tiduran sama anak, tiba-tiba jam empat sore didatangi dua orang polisi. Mereka sudah membawa truk. Saya disuruh keluar ikuti mereka. Rumah saya diobrak-abrik. Saya disuruh berpakaian.Jam enam sore, saya masuk ke sel, langsung digebuki sana narapidana, tahanan Polres. Alasannya, katanya saya membunuh jenderal, memotong pelir jenderal. Kata mereka, “Kurang ajar, orang PKI galak.”Saya digebuki, saya sudah bengep dikeroyok. Malamnya baru dibawa ke Kodim (Komando Distrik Militer).Pagi hari saya dibariskan. Saya pikir mau dibawa ke rumah, ternyata dibawa ke Rutan Guntur. Kami berbaris kira-kira 15 orang. Saya lihat ada orang tua koprol di lapangan bulu tangkis. Saya kemudian berlagak semaput dan dianggap semaput. Tapi akhirnya kata CPM (Corps Polisi Militer), “Berhenti!” Saya akhirnya disiram air satu ember.Saya lalu diberi susu segelas. Susu itu saya habiskan, lalu saya istirahat. Tapi saya diteror terus. Ada bunyi sepatu lars yang ada pakunya. Saya enggak bisa tidur. “Wah, disiksa lagi nih,” pikir saya. Pagi-pagi saya dibawa ke Rutan Cipinang, lalu ke Rutan Salemba. Saya berobat dan masuk sel. Satu sel dihuni tiga orang. Ruangan itu lebarnya 1,5 meter, panjangnya 1,5 meter. Saya diinterogasi. Saya bilang enggak tahu apa-apa. Saya jawab, di kantor punya serikat sekerja, dan saya sebagai anggota. Kebetulan saya punya teman-teman SOBSI. Saya bergaul, mengobrol dengan mereka. Dianggapnya saya ikut SOBSI. Ya sudah, terserah. Saya disuruh mengaku, saya enggak mau.Saya di Salemba sampai 1966, lalu dipindah ke Tangerang. Di sana saya kerja rodi, kerja paksa. Bikin sawah, bongkar-bongkar kuburan Tionghoa.
Tidak sampai setahun, saya kembali lagi ke Salemba. Saya dan yang lain keluar dan dibariskan, lalu ke Stasiun Kota. Saat itu saya dalam keadaan lumpuh karena kekurangan gizi dan vitamin. Waktu di Salemba, keluarga kirim surat. Saya dicerai karena istri mau cari pekerjaan. Istri saya minta surai izin bercerai. Akhirnya saya cerai. Tapi itu hanya kamuflase. Saya tanda tangani surat cerai demi anak. Setelah Salemba, saya dibawa ke Cilacap lalu menyeberang ke Nusakambangan. Saya 1,5 bulan di sana. Pada 1969, saya dibawa ke Pulau Buru. Saya gelombang pertama, terdiri dari tiga unit. Total yang dibawa 1.500 orang. Tiap unit ada 500 orang. Saya unit dua, Pramoedya Ananta Toer unit tiga.
Tahun 1978 saya bebas. Keluarga tahu saya dibebaskan. Saya dijemput di Kodim Selatan, Kebayoran, Pakuwubono.Anak saya sudah besar semua. Ada dua anak. Kami berangkulan. Kami yang tercerai, kembali bersama.
Simak juga Liputan Khusus:
JEJAK PENJARA TAPOL PULAU BURU
(agk)