-- Tak semua tahanan politik di Pulau Buru kembali ke daerah asalnya setelah dibebaskan pada 1979. Puluhan tahanan politik memilih melanjutkan hidup di pulau pengasingan mereka itu.
CNNIndonesia.com, awal Maret lalu, menemui beberapa dari mereka yang hidup, mencari makan dan beranak pinak di Buru. Status mereka berubah, dari tahanan politik menjadi transmigran.
Dulu mereka yang menyulap Pulau Buru dari hutan belantara menjadi lahan produktif pertanian. Setelah bebas, mereka yang memilih bertahan juga berperan membangun Buru menjadi daerah maju.
Para tapol kini tak muda lagi, namun semangat masih terpancar di mata mereka saat diminta bercerita kembali kisah mereka dulu.
Gatot Parsono tengah mencincang genjer saat ditemui di rumahnya di Desa Savana Jaya, Waeapo, Pulau Buru. Ia segera berganti pakaian untuk menghormati kami yang jauh-jauh datang untuk menemuinya.
"Begini aktivitas saya sehari-hari, sudah tua, mengurus ternak dan melihat sawah," katanya sambil mengancingkan kemejanya. Tanaman genjer yang dicincangnya akan diberikan pada bebek yang diternaknya di pekarangan belakang.
Gatot adalah satu dari puluhan tahanan politik Pulau Buru yang memilih menetap di sana. Surat bebas memang sudah ia kantongi. Namun menetap di pulau di mana ia pernah diasingkan jadi pilihan hidupnya.
Gatot ditangkap karena tuduhan terlibat dalam Partai Komunis Indonesia. Padahal ia sehari-hari cuma bekerja di Dinas Pekerjaan Umum di Mojokerto.
Ia termasuk kelompok pertama yang tiba di Buru. Keahlianya sebagai mekanik mesin jadi keuntungan tersendiri baginya. Jika pada tapol lainnya dikirim ke unit-unit yang ada untuk membuka hutan menjadi lahan pertanian, Gatot lebih banyak berada di Markas Komando. Bukan cuma mengurusi mesin mobil atau kapal yang rusak, tentara juga meminta gatot membuat kapal sekoci.
1979, Gatot dinyatakan bebas. Pria asal Surabaya menunjukkan surat keterangan bebas yang diterimanya. Surat tersebut sudah lusuh. Bekas lipatannya bahkan sudah terkoyak di beberapa bagian.
Surat "sakti" itu terus disimpannya. "Takut sewaktu-waktu diperlukan," ujarnya.
Namun ia tak lama di Surabaya. Ia memutuskan kembali ke Buru dan melanjutkan hidup di pulau pengasingan itu. Cap PKI diakuinya cukup mengganggu. “Susah hidup di sana (Surabaya), saya kembali ke sini biar tidak mengganggu ketenangan keluarga,” kata Gatot. Selain itu, di Buru Gatot merasa ada banyak kesempatan untuk mencari makan.
"Saya juga ingin melanjutkan rencana lama bersama kawan-kawan menjadikan Buru sebagai Surabaya kedua," katanya.
Kembali ke Buru status Gatot adalah transmigran swakarsa. Sebagai transmigran, ia berhak mendapatkan satu unit rumah dan pekarangan seluas 1/5 hektare, kebun 3/4 hektare, dan sawah 1 hektare.
Selain mengurusi lahan pertanian, Gatot juga mencoba membuka bengkel mesin kapal di Namlea, daerah paling ramai di Buru.
Ia selanjutnya ikut kerja di proyek konstruksi. Sebagai daerah yang tengah berkembang, di Buru memang banyak terdapat proyek konstruksi seperti bangunan dan jembatan. Gatot menunjukkan beberapa proyek konstruksi yang pernah ia ikuti. Salah satu proyek yang ia kerjakan adalah pembangunan komplek Pusat Pemerintahan Kabupaten Buru di Namlea.
Gatot mengaku tenang di usia senjanya. Baginya, status tapol adalah masa lalu. Masyarakat sekitar juga sudah tak mempermasalahkannya. "Interaksi biasa saja, tak ada bedanya dengan warga yang bukan tapol," katanya.
Bahkan Gatot merupakan salah satu tokoh di Desa Savana Jaya. Beberapa warga Pulau Buru meski dari desa berbeda, kenal siapa Gatot Parsono.
Tergopoh-gopoh Rusman menyandarkan sepeda ontel yang dikayuhnya dari ladang. Ia mengaku kaget saat melihat beberapa orang berkerumun di depan rumahnya sore itu. Satu orang dikenalnya di antara beberapa orang itu yang tak lain kawan lamanya.
“Bung Tumiso, apa kabar?” segera ia memeluk tamunya itu. Setengah tak percaya, ia tepuk pundak kawan lamanya itu, Lukas Tumiso yang datang dari jauh untuk menemuinya. Keduanya merupakan bekas tahanan politik yang diasingkan di Pulau Buru dan tinggal di satu unit tahanan, Unit III. Keduanya langsung mengenang masa lalu.
Tumiso lalu memperlihatkan foto-foto yang dijepret saat menjadi tapol sambil menyebutkan satu persatu orang yang ada di dalam foto itu. Ada yang sudah mati, namun ada pula yang masih hidup hingga kini.
Tumiso lantas menceritakan bahwa Rusman adalah sosok penting di Unit III dulu. “Dia adalah orang kepercayaan Pak Oey Hay Djoen,” kata Tumiso.
Oey Hay Djoen adalah petinggi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan pernah menjadi anggota DPR perwakilan dari Partai Komunis Indonesia. Di Buru, Oey ditandai tentara dengan nomor tahanan 001.
Salah satu tugas penting yang dipercayakan pada Rusman adalah mendengarkan radio di dalam hutan. Di Buru saat itu, kata Rusman, akses informasi sama sekali dipotong.
Media massa seperti koran, radio, dan televisi jadi barang haram.
“Informasi adalah harapan, kalau tidak punya informasi, kami sama saja tak punya apa-apa,” kata Rusman. Radio diperoleh dengan cara diselundupkan. Radio didapat atas bantuan tapol yang berasal dari Ambon dan wanita pribumi yang kelak menjadi istri Rusman.
Pada malam-malam tertentu, Rusman diminta Oey pergi ke tengah hutan mendengarkan radio itu. Targetnya adalah siaran dari radio Peking dan Australia.
Salah satu informasi penting yang didapat dari Peking adalah pidato Ketua Partai Komunis China saat itu Mau Tse Tung.
“Ketua Mao saat itu menyebut teori negara tiga dunia,” kata Rusman.
Saat itu Mao sudah menyebut bahwa negara dunia pertama yakni Amerika dan Uni Soviet, negara dunia kedua adalah Inggris, Eropa barat dan Eropa timur serta negara dunia ketiga adalah negara-negara berkembang.
Sementara informasi dari radio Australia menyiarkan kebobrokan rezim Soeharto membuat rakyat benci. Selain itu ada berita soal rencana pembebasan tahanan politik karena tekanan dari luar negeri.
“IGGI (kelompok negara donor) akan menyetop bantuan kalau tapol tidak dibebaskan,” kata Rusman.
Informasi penting ini yang kemudian disebarkan Rusman dari mulut ke mulut agar keberadaan radio itu tidak diketahui tentara.
Rusmah mengaku tak takut mengemban tugas mendengarkan radio itu meski nyawa harus dipertaruhkan. Pernah suatu hari ia harus hampir saja terpergok tentara yang tengah berburu.
Sambil memegangi radio, ia merayap di antara ilalang sampai bertemu sebuah gubuk di tepi kali dan bersembunyi di sana.
Rusman kini menghabiskan masa tuanya di Buru. Sebelum bebas, ia memang sudah menikahi gadis asli Buru.
“Setelah menikah, saya tak ada keinginan pulang ke Garut,” kata bekas anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesai (CGMI) ini.
Lebih dari 40 tahun mendiami Buru, logat Sunda Rusman kini sudah hilang, berganti dengan logat Maluku. Meski begitu, ia masih fasih berbahasa Sunda dan masih rutin pulang kampung saban tahun. “Jari-jari saya sedang kumat, kaku sudah digerakan,” kata Yadiono saat diminta bermain keyboard tua di rumahnya. Namun ia bersedia memainkan biola meski agak dipaksakan dengan kondisi jarinya yang kaku.
“Ini biola hadiah dari cucunya Pak Pram (Pramoedya Ananta Toer),” katanya membanggakan.
CNNIndonesia.com menyambangi Yadiono di rumahnya di Waepo di Pulau Buru. Saat itu ia hanya mengenakan celana pendek dan singlet putih yang warnanya mulai memudar.
Di usianya yang ke-79, masih terlihat sisa-sisa ototnya yang besar di lengan dan lehernya. Yadiono mengaku, waktu muda ia adalah juara binaraga di daerah asalnya.
Saat menjadi Tapol di Buru ia juga dikenal sebagai ahli akrobat. Mengendarai sepeda motor dengan mata tertutup dulu bisa dilakukannya.
Sekarang, lengannya tak sekuat dulu. Rambutnya juga sudah memutih semua. Namun semangat pengabdian masih tertanam di dadanya.
Keinginan untuk bertahan di Buru karena enggan memulai segalanya dari awal di Blitar, Jawa Timur, daerah asalnya. Perusahaan kereta api tempatnya dulu bekerja telah memecatnya setahun sejak huru-hara 1965. Yadiono dulu tergabung dalam Serikat Buruh Kereta Api, organisasi yang dituding berafiliasi dengan PKI.
Di kampung halaman, istrinya juga sudah menikah lagi. Karena itu, Yadiono memutuskan untuk tinggal di Buru dengan berstatus sebagai transmigran swakarsa. Jatah lahan yang didapatnya ia kelola.
 Yadiono mantan tapol memainkan biola pemberian salah satu cucu Pramoedya Ananta Toer dirumahnya, Desa Savana Jaya, Pulau Buru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Yadiono juga memulai usaha di bidang fotografi. Bermodal dari kamera tua yang dimilikinya, bisa dikatakan Yadiono adalah juru foto pertama di kawasan bekas unit-unit tahanan. “Semua orang di sini dulu yang saya foto,” katanya. Tak cuma memotret, Yadiono juga mencetak sendiri hasil foto.
Belakangan usaha fotografi ditinggalkanya seiring dengan makin majunya teknologi fotografi yang tak bisa ia ikuti. Peralatan fotografi seperti kamera yang masih menggunakan rol film, ia berikan pada seorang wartawan yang pernah mewawancarainya.
Sejak saat itu, ia bekerja serabutan. Sambil mengurusi sawah dan ladangnya, ia juga kerja di proyek bangunan.
Pada 2007 ia memulai mengajar sebagai guru honorer. Saat itu, SMP dan SMA di Waepo membutuhkan guru seni musik. Di Pulau Buru menurutnya hanya ada beberapa guru seni yang semuanya mengajar di Namlea.
Karena memiliki pengetahuan di bidang musik, Yadiono lantas dipercaya menjadi guru. Hampir sepuluh tahun ia menjadi guru honorer, Yadiono enggan menyebut nominal gaji yang didadaptnya sebagai guru tidak tetap. “Yang penting cukup untuk makan,” katanya.
Di SMA, Yadiono mengajar pelajaran dasar seni musik. Materi yang seharusnya diberikan di sekolah dasar. Yadiono juga mengajari anak didiknya bermain angklung. Untuk permainan angklung, SMA Negeri 3 Waepo adalah salah satu yang terbaik di Provinsi Maluku.
Di usia senjanya kini, Yadiono bertekad ingin terus berbuat baik dan berguna bagi sesamanya. “Perjuangan itu tidak mengenal lelah,” katanya.
Pelaksana harian Kepala Sekolah SMA Negeri 3 Waeapo, tempat Yadiono mengajar, Ayu Rahelab mengajar, pengabdian Yadiono patut diacungi jempol. Semua guru di sekolah sangat menghargai dan menghormatinya.
Selain karena sudah sepuh, semangat mengajar mbah Yadi menurutnya juga patut jadi teladan guru-guru yang lain. Status Yadiono sebagai bekas tapol tak jadi masalah bagi guru dan murid.
Yadiono sendiri mengaku tak tahu sampai kapan akan mengajar. Menurutnya, selama sekolah membutuhkan jasanya, ia akan tetap berbagi ilmu seni kepada siswa. Mengajar baginya bukan cuma sekadar mata pencaharian di masa tuanya, tapi juga pelepas penat meski kondisi kesehatan kadang jadi penghalang. Sejak menjadi tahanan politik di Pulau Buru, Dariyun memang tak ingin berencana untuk pulang ke Bandung, Jawa Barat. Ia merasa seluruh kehidupannya sudah direnggut oleh rezim berkuasa saat itu. Bahkan istri yang ditinggalkannya ke Pulau Buru, kabarnya dinikahi tentara.
Dariyun dikirim ke Buru pada 1971. Ia yang saat itu tergabung dalam Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Sarbupri) dituding sebagai antek PKI.
Bukan cuma dirinya, tentara saat itu juga membawa paksa dua adik dan bapaknya. Semuanya ditahan atas tuduhan yang sama, terlibat PKI. Namun cuma dirinya yang diasingkan ke Buru.
Sejak berada di Buru, Dariyun merasa tak ada alasan kuat untuknya kembali pulang meski sudah dibebaskan. Di Buru baginya lebih ada harapan dibandingkan harus pulang.
Jadilah Dariyun warga Buru sampai sekarang. Ia kemudian menikah dengan wanita asal Solo yang merupakan putri seorang tentara bernama Bisono. Pilihannya ini sempat dipertanyakan oleh teman-temannya sesama tapol.
“Teman-teman tanya, apa enggak malu punya istri anak tentara?” Kata Dariyun.
Dariyun saat itu menjawab, semua manusia lahir dalam kondisi telanjang sehingga tak ada perbedaan derajat apakah itu tentara atau bekas tapol.
Apalagi sejak awal Dariyun tak menduga, wanit pujaan hatinya adalah anak tentara. Saat ia tahu hal itu, ia sempat pesimistis bisa mendapatkan restu dari orang tua calon istrinya.
Karena itu saat calon istrinya pamit untuk minta izin kepada orang tuanya yang berdinas di Ambon, Dariyun tak mau berharap banyak.
“Saya bekali calon istri saya uang Rp600 ribu, kalau dapat izin dia bisa pulang lagi ke sini (Buru), kalau tidak disetujui, uangnya bisa dipakai untuk kursus,” kata Dariyun.
Tak dinyana, dua pekan kemudian sang pujaan hati sudah kembali dengan membawa surat wali. Isi surat itu pada intinya, orang tua istri tidak bisa datang dan menyerahkan hak perwalian kepada penghulu.
Maka menikahlah Dariyun dengan anak tentara itu hingga memiliki empat orang anak.
Dariyun bersama istrinya kini menjalani masa tuanya di Buru dengan mengelola tanah yang dijatah dari pemerintah. Sama seperti eks tapol lainnya yang bertahan di Buru, ia berstatus sebagai transmigran swakarsa sehigga berhak mendapatkan rumah, pekarangan dan sawah untuk dikelola.
Tak semua tahanan politik di Pulau Buru kembali ke daerah asalnya setelah dibebaskan pada 1979. Puluhan tahanan politik memilih melanjutkan hidup di pulau pengasingan mereka itu.