DPR Usulkan KUHP Lindungi 'Korban' Tindak Pidana

Christie Stefanie | CNN Indonesia
Rabu, 27 Apr 2016 19:20 WIB
"Korban" dimaksud adalah seseorang yang karena ketidaktahuannya mengantarkan barang yang isinya melanggar ketentuan pidana.
Gedung Kura-kura Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (19/9). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Panitia kerja (Panja) Komisi Hukum DPR mempertimbangkan klausul dalam KUHP untuk melindungi seseorang yang "dikorbankan" dalam tindak pidana. Ketua Panja KUHP Benny K Harman mencontohkan, keberadaan sopir ojek yang dimanfaatkan untuk mengantarkan narkotika.

"Gojek mereka hanya mengantarkan barang dan mendapatkan uang. Bagaimana hukum pidana melindungi orang seperti ini?" kata Benny di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (27/4).

Hal ini disampaikan Benny dalam rapat Panja bersama Tim perumus KUHP yang diketuai Muladi. Muladi didampingi sejumlah pakar hukum pidana lainnya, seperti Harkristuti Harkrisnowo dan Muzakir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Contoh serupa disampaikan Anggota Panja Muhammad Syafi'i. Dia mencontohkan seorang anak, atas suruhan seseorang, mengambil narkotika dari dalam rumah dan diserahkan orang tersebut.

Namun, anak ini ditahan polisi karena dianggap membantu tindak pidana. Sebab, polisi melihat anak ini terbukti memindahkan barang. Syafi'i menekankan, anak ini sama sekali tidak tahu barang yang dipindahkan. Dia pun melakukannya karena perintah seseorang.

"Polisi hanya melihat apa yang diperbuat. Anak ini kan tidak tahu," kata Legislator Partai Gerindra ini.

Pasal 40 KUHP mengatur, seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan jika orang itu melakukan tindak pidana dengan sengaja atau kealpaan.

Menanggapi itu, Muzakir menuturkan, penyidik tidak dapat memutuskan seseorang niat atau tidak melakukan tindak pidana. Hal itu merupakan ranah hakim di pengadilan.

Menurutnya, hukum pidana di Indonesia hanya merekonstruksi kesengajaan atau kealpaan dalam suatu tindak pidana. Namun dia menyebutkan, adanya celah yang disebut sepatutnya menduga.

"Ojek tadi, tahu enggak isinya apa? Atau ditambah enggak upahnya? Kalau iya kan sepatutnya menduga. Sehingga ada motif kriminal persiapan berbuat jahat diketahui," kata Muzakir.

Hal itu dikarenakan, penyelidik atau penyidik tidak dapat menilai dan memutuskan sopir ojek beretika baik atau beretika buruk. Kendati demikian, sopir tadi tidak akan dimintai pertanggungjawaban apabila dia sama sekali tidak mengetahui apa yang dikirim dan tetap dibayar dengan tarif normal.

Dia memberikan contoh kecelakaan mobil di Tugu Tani pada 2012 yang menewaskan delapan orang. Dia menuturkan, Afriyani, pengemudi mobil, tidak berniat menabrakan mobilnya kepada pejalan kaki.

Namun saat itu, Afriyani berada dalam di bawah pengaruh narkotika. "Itu masuk kesengajaan. Kan seharusnya tahu kalau itu bisa membuat tidak fokus bahkan kecelakaan, tapi masih mengendarai mobil," ucapnya.

Senada, Harkristuti berpendapat, niatan seseorang tidak dapat dilihat dan diputuskan sampai adanya tindakan nyata. Pasal 40 buku I KUHP yang menjadi alasan tidak ada lagi kata kesengajaan di Buku II KUHP.

"Niat tidak bisa disentuh hukum pidana sebelum dilakukan perbuatan nyata," kata Tuti. (rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER