Cerita 'Memalukan' di Balik Pendudukan DPR Mei 1998

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Rabu, 18 Mei 2016 20:13 WIB
Di tengah situasi tegang dan isu sweeping, mahasiswa berkeliaran bebas di Gedung DPR. Ingin minum kopi, dilayani office boy. Lapar, makanan melimpah.
Gedung Kura-kura di Kompleks MPR/DPR yang diduduki ratusan mahasiswa pada Mei 1998. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- 21 Mei 1998. Presiden Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya dalam tayangan langsung di televisi.

Saya, yang saat itu mahasiswa semester enam di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, menatap nanar tayangan televisi dengan air mata bercucuran.

Setelah pidato Soeharto dibacakan, siaran televisi swasta menyiarkan kegembiraan luar biasa yang ditunjukkan oleh ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung MPR/DPR.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka bersorak, bergembira, terjun ke air mancur, dan sebagainya.

Saya terharu? Sedikit.

Loh, mengapa? Sebab yang paling membuncah dalam dada ini adalah rasa malu luar biasa.

Saya malu, mahasiswa Universitas Indonesia tak hadir dalam keriaan itu. Padahal UI didengung-dengungkan (atau mendengungkan diri, entahlah) sebagai kampus perjuangan. Bagi saya itu memalukan. Tapi sikap saya bisa saja salah.

Dalam pandangan saya, pendudukan gedung MPR/DPR punya agenda besar, yaitu menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Faktanya, mahasiswa UI kemudian secara de facto tak ada di Gedung MPR/DPR saat Soeharto lengser.

Pertanyaannya, bagaimana itu bisa terjadi?

Begini ceritanya. Saya dan ribuan mahasiswa UI bergabung dengan puluhan ribu mahasiswa dari berbagai kampus di Gedung MPR/DPR pada 19 Mei 1998. Dari kampus UI di Depok, kami ke Gedung MPR/DPR menumpang bus kota.

Apa yang kami lakukan di sana? Sebagai mahasiswa biasa, bukan koordinator lapangan demonstrasi atau aktivis yang berkoar-koar di panggung orasi itu, kalau tidak berkumpul dan mendengarkan orasi, ya saya berkeliaran di Gedung DPR. Bebas.

Tak ada yang menghalangi saya untuk masuk ke mana pun di dalam gedung rakyat itu. Bahkan di pantry sebuah ruang fraksi, saya dilayani dengan ramah oleh office boy. Ingin minum kopi, tinggal minta.

Telepon juga bisa. Percaya atau tidak, berbekal ‘rumus rahasia’ (jangan ditiru ya), saya bisa berkabar kepada mamak dan pacar di kampung halaman melalui telepon umum.

“Dik, coba nonton dulu tipi itu, mana tahu kau lihat Abang masuk tipi,” kataku waktu itu pada pacar nun jauh di Sumatra Utara.

Makanan? Melimpah. Dapur umum adalah pusat aktivitas yang menggeliat tiada henti. Begitu lapar, cukup datang ke sana. Saya tak terlalu peduli dari mana asalnya nasi-nasi bungkus itu.

Saya juga termasuk mahasiswa yang ikut ramai-ramai naik ke atap Gedung Kura-kura. Sayang waktu itu tak ada ponsel dan sosial media, sehingga tak ada yang melakukan selfie dan berbagi fotonya di atas sana.

Sehari sebelum Soeharto turun, 20 Mei, adalah hari penting saya. Soalnya, itu hari saya lahir ke dunia. Berulang tahun di Gedung MPR/DPR, bagi saya adalah momen yang takkan terlupakan.

Rupanya, hari penting saya itu harus ‘ternoda’ oleh keputusan yang tak bisa saya tolak, meski hati berkata lain. Tiba-tiba koordinator lapangan UI mengumpulkan kami semua dan mengeluarkan keputusan yang menyesakkan dada.

“Kita harus keluar, isunya akan ada sweeping dan kami tak mau terjadi apa-apa dengan kalian. Yang membangkang tidak dijamin keselamatannya,” begitu kira-kira ucapan korlap, yang saya tak ingat siapa namanya itu.

Saya teringat peristiwa tegah malam sebelumnya, 19 Mei. Tiba-tiba ada isu sweeping –yang membuat kami yang sedang tidur nyenyak di berbagai sudut Gedung MPR/DPR, berlarian tak tentu arah. Kacau.
20 Mei 1998, beberapa saat sebelum matahari tenggelam, ribuan mahasiswa Universitas Indonesia keluar dari Gedung MPR/DPR. Saya ikut berbaris dengan rasa malu. Tak mampu saya menatap ribuan pasang mata yang melihat kami dengan tanda tanya.

Petang itu, dengan menumpang beberapa omprengan, saya berhasil pulang ke Depok. Korlap kami tak lagi menyediakan angkutan untuk kembali ke kampus. Hari itu saya akhiri dengan tidur pulas di kamar kos.

Keesokan harinya, pagi-pagi saya berangkat ke kampus dan di sana sudah banyak orang berkerumun di depan sejumlah layar televisi yang sedang menayangkan pengunduran diri Soeharto.

“… Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.”

Orang-orang di kampus bersorak, berteriak, menangis, bersalaman, melompat. Begitu pun yang di Gedung MPR/DPR, seperti yang ditayangkan di televisi.

Saya menatap beberapa teman yang sama-sama ikut ke Gedung MPR/DPR. Kami bersalaman sambil tersenyum pahit. Rasanya pahit sekali. Dan air mata masih bercucuran.

LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER