Jakarta, CNN Indonesia -- Mei 1998, Fahri Hamzah belum lagi politikus dan anggota Dewan tenar. Saat itu ia mengambil studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dan tengah menghadapi ujian tengah semester.
Namun Fahri meninggalkan ujian di kampus, dan bergabung bersama kawan-kawannya aktivis 1998 dalam demonstrasi besar menuntut turunnya Presiden Soeharto. Pemerintah Orde Baru, menurut Fahri, tak bisa dibiarkan.
Korupsi kolusi dan nepotisme merajalela, hak asasi manusia dilanggar, kritik dibungkam, oposisi diharamkan. Itu masih ditambah kondisi negara yang dilanda krisis ekonomi. Mahasiswa pun memberontak, termasuk Fahri dan rekan-rekannya yang membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Teman-teman bilang, ini waktunya kita bergerak! Saya sama Pak Anis Matta (mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera) satu kelas saat itu. Gerakan mahasiswa itu adalah perasaan batin masyarakat. Kalau penderitaan sudah keterlaluan, mahasiswa yang dianggap tak punya pretensi harus muncul ke permukaan menyuarakan,” kata Fahri kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/5).
Demonstrasi mahasiswa memuncak sepanjang Mei, kala krisis ekonomi meningkat dan negara dianggap makin menindas rakyat. Para mahasiswa yang berunjuk rasa ditindak represif oleh aparat keamanan. Sebelum Mei pun sejumlah aktivis diculik tentara.
“Krisis, akumulasi perasaan, represi negara berlebihan, dan kroni-kroni kapitalisme yang merajalela itu menyebabkan bertahannya stamina gerakan mahasiswa. Di tengah-tengahnya ada pembunuhan mahasiswa,” ujar Fahri.
Mei 1998 jadi bulan kelabu yang tercatat dengan noda hitam di lembaran sejarah bangsa Indonesia. Empat mahasiswa Universitas Trisakti –Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie– tewas tertembak saat berdemonstrasi di kampus mereka sendiri.
Setelahnya, kerusuhan merebak di berbagai kota, khususnya Jakarta sebagai pusat penerintahan Republik Indonesia. Etnis Tionghoa jadi sasaran utama. Toko-toko mereka dijarah. Korban bergelimpangan, perempuan-perempuan diperkosa, seribu nyawa lebih melayang terpanggang dalam bangunan yang terbakar di sana-sini.
Berdasarkan data Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk pemerintah usai Soeharto jatuh, tak kurang dari 1.100 orang tewas terbakar sepanjang kerusuhan Mei, sedangkan 27 orang lainnya mati ditembak senjata api.
Tragedi Mei 1998, ujar Fahri, merupakan peristiwa besar dalam sejarah Indonesia. Mesti ada upaya serius dari pemerintah untuk menenteramkan dan mencari keadilan atas mereka yang menjadi korban.
“Hilangnya satu nyawa tak boleh dianggap sepele. Hilangnya satu nyawa adalah hilangnya seluruh nyawa. Mereka yang ditinggal, mereka yang terluka seumur hidup karena tak tahu saudaranya meninggal di mana, anaknya dibunuh siapa dan dikubur di mana,” kata Fahri.
Merasa mimpi reformasi terwujudFahri menilai, secara umum tuntutan para aktivis 1998 saat ini terwujud, misalnya reformasi struktural, konstitusi yang demokratis, struktur negara yang transparan, militer yang profesional, otonomi daerah, dan kebebasan untuk memberantas kolusi korupsi nepotisme.
Bandingkan dengan masa Orde Baru, ujar Fahri, di mana KKN merajalela dan birokrasi menganut prinsip ‘Asal Bapak Senang’.
“Saya kira itu semua adalah tuntutan yang telah terkabul,” ucap Fahri.
Namun, ujarnya, masih ada keinginan masa lalu yang hingga kini belum terkabul, yakni belum memuaskannya kebijakan pemerintah akibat tarik-menarik kepentingan politik antara mereka yang dipilih dengan yang memilih dalam pemilu.
Menciptakan pemimpin yang berpihak pada kesejahteraan rakyat, kata Fahri, masih menjadi pekerjaan rumah bagi aktivis 1998 dan seluruh mahasiswa Indonesia saat ini.
Itu juga alasan Fahri kini terjun ke dunia politik praktis. “Kami harus mau terlibat membantu reformasi sistem perwakilan dan pemilihan untuk menghasilkan pemimpin terbaik, karena yang bisa menuntaskan banyaknya masalah adalah kepala negara.”
Terkait Tragedi Mei 1998 yang hingga kini belum tuntas, Fahri berpendapat hanya pemerintah yang mampu menyelesaikannya. Salah satu caranya dengan mencari payung hukum yang pas, dan menggelar rekonsiliasi nasional agar semua pihak saling mengucap dan memberi maaf.
(agk)