Jakarta, CNN Indonesia -- Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Yunita mengungkap cerita di balik kerusuhan Mei 1998 di kawasan Glodok Jakarta dan sekitarnya. Menurutnya, terdapat empat tahap yang terjadi dalam kerusuhan tersebut.
Tahap pertama ialah persiapan yang berupa tindakan provokasi. "Ada orang yang memancing atau membuat keributan dengan tujuan untuk mencari perhatian massa," kata Yunita di Glodok, Jakarta Pusat, Sabtu (21/5).
Provokator tersebut, kata dia, punya kemampuan menggunakan senjata, alat telekomunikasi, dan dapat mengorganisasi massa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahap pertama itu terdapat dua jenis massa, yakni aktif dan pasif. Massa aktif merupakan kumpulan orang yang tidak tinggal di daerah sekitar Glodok dan pergerakannya sangat teroganisasi.
Sementara massa pasif ialah kumpulan orang yang kebetulan berada di sekitar tempat kejadian. Kumpulan orang itu kemudian terprovokasi provokator untuk membuat keributan.
Tahap kedua yaitu perusakan berupa pelemparan botol atau batu, namun siapa pelakunya tidak tahu. "Semua kaca dipecahkan. Massa melakukan pelemparan batu dan botol yang diarahkan ke kaca gedung-gedung," kata Yunita.
Pada tahap kedua ini pelaku perusakan sulit dikenali, sebab perusakan dilakukan oleh sekumpulan orang.
Setelah melalui tahap satu dan dua, massa mulai melakukan penjarahan. Semua barang yang ada di dalam berbagai pusat perbelanjaan dan pertokoan habis dijarah.
"Saya dulu punya teman. Dia punya toko kain di daerah Glodok. Saat itu tokonya habis dijarah tidak ada yang tersisa. Akibatnya banyak warga yang mengalami kebangkrutan," kata Yunita.
Setelah tiga tahap itu, terakhir adalah aksi pembakaran. Pembakaran antara lain berlangsung di gedung pertokoan Glodok dan sekitarnya. Aksi tersebut dilakukan secara sengaja oleh sekumpulan orang yang juga tidak dapat dikenali identitasnya.
Aksi pembakaran bahkan meluas hingga ke kawasan Petak Sembilan, Asemka, dan hampir menyentuh wilayah Kota.
"Tidak hanya pertokoan dan gedung, rumah warga pun menjadi sasaran namun tidak banyak yang terkena," ujar Yunita.
Pemerkosaan Etnis TionghoaDi samping kerusuhan, Yunita menyatakan bahwa telah terjadi tragedi pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa pada Mei 1998. Namun demikian, hingga kini lokasi pemerkosaan masih dipertanyakan.
"Dari laporan Tim Gabungan Pencari Fakta kasus kerusuhan Mei 1998, setidaknya ada 85 kasus kekerasan seksual di Jakarta, Medan dan Surabaya. Korbannya mayoritas etnis Tionghoa," ujar Yunita.
Yunita menuturkan, dari 85 kasus, 52 di antaranya merupakan jenis pemerkosaan secara beramai-ramai. Dari jumlah kasus pemerkosaan tersebut, 14 di antaranya dilakukan dengan penganiayaan, 10 kasus penganiayaan seksual, dan 9 pelecehan seksual.
Sayangnya dari 52 kasus itu, hanya tiga kasus yang didapat dari pengakuan korban secara langsung. Sementara sisanya berasal dari dokter, rohaniawan, dan pihak keluarga.
Ini karena sulit menemukan korban yang mau mengaku pernah mengalami pemerkosaan sehingga Tim Gabungan Pencari Fakta kesulitan untuk melakukan pendataan.
Yunita juga menyayangkan aturan hukum di Indonesia bahwa kasus pemerkosaan tidak dapat diproses tanpa ada laporan dari korban. Sementara korban kerap tak mau melapor karena ketakutan dan malu. Aturan itu, ujar Yunita, menyebabkan banyak kasus pemerkosaan jadi tak terungkap.
(obs)