Jakarta, CNN Indonesia -- Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menyatakan Mei 1998 jadi bulan yang mencekam bagi kaum perempuan. Bukan cuma perempuan Tionghoa yang merasa terancam, tapi juga pribumi yang berparas seperti etnis Tionghoa.
“Saya yang juga berkulit putih dan bermata sipit ikut takut, padahal saya bukan etnis Tionghoa. Saat itu saya sampai bawa golok kalau keluar rumah untuk jaga-jaga,” kata Mariana dalam diskusi ‘Media dan Perempuan Tionghoa Mei 1998’ di Sekretariat Indonesia Tionghoa, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (20/5).
Mei 1998, ujar Mariana, jadi momen paling menakutkan bagi perempuan Indonesia. Penjarahan dibarengi pemerkosaan membuat hati kecut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara terpisah, seorang wanita Tionghoa, Nancy Widjaja, bercerita bahwa ia memilih untuk mendekam di rumah, juga melarang anak-anaknya keluar rumah saat kerusuhan Mei meledak.
“Tiap lihat orang kumpul-kumpul di jalanan, rasanya khawatir, takut. Membuat kami ingin selalu di rumah,” ujar Nancy kepada CNNIndonesia.com.
Nancy paling ngeri jika melihat gerombolan pria di jalan, sebab menurutnya pelaku kekerasan seksual biasa beraksi berkelompok, tak seorang diri.
Kala itu, kenang Nancy, desas-desus para perempuan Tionghoa mengalami pemerkosaan amat santer. “Cerita menyebar tanpa menyebut nama korban. Mereka cenderung tertutup dan tak mau bercerita detail.”
Banyak korban, kata Mariana, memang memilih bungkam. Terlebih budaya Indonesia kerap memandang kasus pemerkosaan seolah-olah dipicu oleh perilaku perempuan itu sendiri. Pemerkosaan kerap dianggap lumrah dengan dalih laki-laki punya libido tinggi.
Sebagian besar korban pemerkosaan Mei 1998 akhirnya memilih diam karena merasa ditimpa aib. Ini diperparah dengan pihak keluarga yang juga malu dengan istri atau anaknya yang diperkosa.
“Korban ini melanjutkan hidup saja susah, apalagi diminta untuk cerita,” kata Mariana.
Namun bungkamnya para korban seakan-akan membuat pemerintah jadi punya alasan menyebut kasus pemerkosaan tak pernah terjadi. Apalagi sebagian korban kemudian pindah ke luar negeri dan mengubah identitas mereka untuk memulihkan trauma dan memulai hidup baru.
Para relawan kemudian membuat petisi, meminta pemerintah melakukan investigasi atas Tragedi Mei 1998, termasuk kasus pemerkosaan tersebut. BJ Habibie yang saat itu menjabat presiden kemudian meminta maaf pada masyarakat dan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta.
TPGF menemukan kasus pemerkosaan benar terjadi. Namun Kejaksaan Agung saat itu berkali-kali mengembalikan berkas hasil penyelidikan TGPF karena dianggap tak lengkap.
“Korban ke luar negeri seharusnya bukan berarti pengadilan tak dilakukan. Sekarang lihat, tidak ada tindak lanjut. Padahal ada korban yang masih hidup. Korban yang sudah mati bahkan harus tetap diusut,” ucap Mariana.
Dia yakin Tragedi Mei 1998 bukan konflik sosial, namun berlangsung sistematis atas komando pihak tertentu.
“Jadi bukan karena Tionghoa berkonflik dengan pribumi, tapi memang sengaja diciptakan rusuh,” kata dia.
(agk)