Jakarta, CNN Indonesia -- Ayu, 13, saban tahun memanen tembakau di perkebunan di kampungnya, Garut, Jawa Barat. Gadis mungil itu terpaksa menggotong belasan kilogram daun tembakau berkali-kali balikan demi mengais rupiah.
Pekerjaan itu sangat berat dirasakan sehingga setiap selepas bekerja Ayu merasa kelelahan. "Saya sangat kecapekan saat membawa tembakau. Saya mengangkutnya berulang-ulang," kata Ayu seperti dikutip oleh Margaret Wurth dari Human Right Watch baru-baru ini kepada CNNIndonesia.com.
Margaret yang melakukan penelitian terkait dampak daun tembakau atas kesehatan anak-anak yang bekerja di sektor tembakau menyebutkan ribuan anak bekerja di sektor tembakau, baik di perkebunan atau di gudang perajangan tembakau, di antaranya baru berusia 8 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka bekerja dalam kondisi yang beracun atas dampak nikotin daun tembakau. Indonesia memiliki banyak nama besar industri tembakau, seperti Gudang Garam, Djarum, dan Nojorono serta dua industri multinasional Philip Morris (HM Sampoerna) dan Britih American Tobacco. Namun tidak di antara mereka memastikan bahwa pekerja anak-anak tidak terlibat di rantai industri rokok.
Laporan setebal 119 halaman, "The Harvest us in My Blood: Hazardous Child Labor in Tobacco Farming in Indonesia" memperlihatkan bagaimana anak-anak berada dalam paparan racun tembakau dan bahan kimia berbahaya, menggunakan peralatan tajam, dan mengangkut beban berat dalam kondisi cuaca ekstrim.
"Perusahaan seharusnya memberikan sanksi kepada penyuplai tembakau yang memberikan tembakau dengan mempekerjakan anak," kata Margaret.
Tapi apa yang terjadi, peneliti HRW Andreas Harsono mengatakan industri rokok melakukan sistem jual putus dan pasar bebas, sehingga mereka tidak memperhatikan hal-hal semacam itu. Hal itu bisa dikatakan jika perusahaan tembakau ibarat mendulang uang dari punggung dan kesehatan pekerja anak-anak Indonesia.
Indonesia adalah produsen kelima terbesar di dunia dengan lebih dari 500 ribu lahan tembakau. International Labor Organization (ILO) memprediksi sebanyak 1,5 juta anak rentang usia 10-17 tahun terlibat di sektor pertanian. Namun tidak ada data yang pasti berapa yang bekerja di sektor tembakau.
Hasil riset di tiga tempat penghasil tembakau terbesar di Indonesia, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat berdasarkan wawancara 227 orang termasuk 132 pekerja anak-anak di sektor tembakau, mereka biasanya mulai bekerja di usia 12 tahun sepanjang musim tanam di lahan keluarga atau tetangga yang hasilnya diambil pabrikan.
Lebih dari setengah jumlah anak yang diwawancarai mengeluhkan rasa sakit berat di kepala, mual-mual, gatal, dan kelainan kulit yang menghitam. Hal itu diduga karena racun nikotin yang terpapar di kulit mereka. Meski belum ada kajian jangka panjang atas gejala ini, namun prediksi bahaya nikotin yang masuk ke tubuh sejak kecil bisa menyebabkan kerusakan otak.
Kebanyakan dari mereka, anak-anak dan orang tua tidak mengerti akan bahaya dari nikotin dan zat kimia lain seperti urea. Pemerintah jadi tumpuan utama untuk memberikan edukasi bagi orang tua dan anak-anak yang terlibat dalam proses produksi dan penananam tembakau.
HRW telah melampirkan hasil penelitiannya ini kepada perusahaan rokok terbesar di Indonesia, baik nasional maupun muttinasional. Seperti PT Djarum, PT Gudang Garam Tbk, PT Nojoroni Tobbacco International, PT Bentoel International Investama (BAT), dan PT HM Sampoerna Tbk (Philip Morris).
Perusahaan multinasional yang merespons hasil riset HRW mengaku akan melakukan prioritas dan memutus kontrak bagi penyuplai tembakau yang menggunakan anak-anak selama benar-benar terbukti. Namun, selama sistem “open market” yang digunakan, sulit rasanya memutus rantai pekerja anak di sektor tembakau.
"Selama industri tembakau tidak tahu dari mana tembakau mereka berasal, tidak ada yang bisa memastikan anak-anak tidak terlibat di dalamnya yang dan resiko kesehatan akibat itu," tutur Margaret.
Dalam hukum di Indonesia, usia 15 tahun adalah usia minimun untuk bekerja dan usia 13-15 tahun boleh bekerja ringan dengan prioritas kesehatan dan keselamatan. Adapun anak-anak di bawah 18 tahun dilarang bekerja di kawasan beracun dan bersentuhan dengan zat kimia berbahaya.
Melihat kondisi ini, cukup relevan dengan kenyataan Indonesia belum melakukan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari WHO. Indonesia satu dari sedikit negara yang belum meratifikasi dan berdampak pada lemahnya perlindungan populasi dari konsekuensi konsumsi tembakau dan paparan asap rokok.
"Pemerintah harus melakukan perlindungan sejak dini atas bahaya tembakau dan konsumsi tembakau. Tapi pekerja anak-anak di rantai industri tembakau adalah korban yang tersembunyi dan mereka harus segera dilindungi," ujar Margaret.
(obs)