Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah melalui proses perumusan dan perdebatan yang cukup panjang, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (pilkada). Pengamat politik dari Universitas Indonesia Cecep Hidayat menilai UU tersebut tidak membangun sistem politik di Indonesia menjadi lebih baik.
"UU tersebut sarat akan pragmatisme kepentingan jangka pendek para aktor politik," kata Cecep saat dihubungi CNN Indonesia.com, Rabu (8/6).
Cecep mencermati kepentingan jangka pendek tersebut terlihat dalam Pasal 48 UU Pilkada yang mengatur verifikasi administrasi bagi calon perseorangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aturan ini menghambat calon perorangan untuk maju dan menjadi negasi dari kegagalan parpol dalam melakukan kaderisasi dan rekrutmen politik," ujarnya.
Dalam Pasal 48 UU Pilkada, KPU dibantu oleh Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) melakukan verifikasi administrasi terhadap syarat dukungan pencalonan.
Verifikasi adminstrasi dilakukan dengan cara mencocokkan dan meneliti berdasarkan nomor induk kependudukan, nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, dan alamat dengan mendasarkan pada Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil.
Lebih lagi, dukungan tersebut juga dicocokan berdasarkan Daftar Pemilih Tetap pemilu terakhir dan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan dari Kementerian Dalam Negeri.
Verifikasi faktual pun hanya hanya berlangsung paling lama 14 hari terhitung sejak dokumen syarat dukungan pasangan calon perseorangan diserahkan ke PPS.
Verifikasi faktual menggunakan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon. Apabila pendukung calon tidak dapat ditemui pada saat verifikasi faktual, pasangan calon diberikan kesempatan untuk datang ke Kantor PPS paling lambat 3 hari. Lewat dari itu, dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.
"Verifikasi tersebut menimbulkan tiga masalah. Pertama, apakah KPU memiliki sumber daya manusia untuk mendatangi puluhan hingga ratusan ribu orang? Kedua, apakah waktu 14 hari cukup? Ketiga, darimana anggaranya?" kata Cecep.
Kaku dan RumitSenada dengan itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai bahwa syarat calon perorangan sangat kaku dan rumit.
Menurut Titi aturan ini juga menciptakan kompleksitas dalam alokasi tenaga dan waktu bagi petugas pemilu. Mereka akan kesulitan dalam membagi tugas antara melakukan verifikasi dengan memonitor kecocokan waktu tiga hari untuk konfirmasi. Apalagi jumlah yang perlu diverifikasi faktual sangat besar.
"Dengan komposisi personel yang cuma tiga orang dan pendeknya waktu akan berakibat pekerjaan PPS sangat berat dan rumit dibandingkan dengan pengaturan yang sudah dibuat KPU dalam pilkada sebelumnya," kata Titi.
(obs)