Jakarta, CNN Indonesia -- Setara Institute menilai pemerintah hanya fokus pada peraturan daerah terkait persoalan ekonomi seperti pajak, retribusi, dan aturan lain yang melemahkan daya saing serta memperumit birokrasi bisnis. Namun di sisi lain, mengabaikan perda intoleran yang kini menjadi sorotan publik.
Pernyataan itu dikeluarkan Setara usai pengumuman Presiden Jokowi bahwa Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan 3.143 peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang bermasalah karena menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi.
"Sementara perda-perda yang diskriminatif dan intoleran atas dasar agama, keyakinan, peran gender, dan diskriminatif terhadap perempuan, luput dari perhatian Kemendagri," kata Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani dalam keterangan tertulisnya kepada media.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ismail, Jokowi hanya menjelaskan secara umum soal perda yang dibatalkan, seperti perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang jalur birokrasi, menghambat proses perizinan dan investasi, menghambat kemudahan berusaha, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Namun, ujar Ismail, Kemendagri tidak merilis detail jenis perda yang dibatalkan.
Pembatalan tersebut memecahkan rekor praktik pembatalan perda sejak pemberlakuan otonomi daerah. Jika ditotal, sejak 2002 hingga saat ini, pemerintah telah membatalkan 7.029 perda.
Dari 2002 hingga 2009, pemerintah telah membatalkan 2.246 perda. Selanjutnya pada 2010 hingga 2014, sebanyak 1.501 perda dibatalkan. Menyusul November hingga Mei 2015 sebanyak 139 perda dibatalkan.
Ismail mempertanyakan apakah pembatalan perda-perda tersebut mencakup 21 perda diskriminatif yang sebelumnya pernah dikaji Mendagri, 365 perda diskriminatif yang dikaji Komnas Perempuan, atau 53 perda diskriminatif atas dasar agama yang dicatat Setara Institute.
Di tengah kecaman atas dampak perda intoleran di Serang dan sejumlah daerah lainnya, ujar Ismail, seharusnya Kemendagri lebih bergegas dan tak hanya berorientasi pada penghapusan faktor penghambat daya saing ekonomi.
Kemendagri diminta mulai mengkaji perda-perda yang menjadi dasar pengesahan tindakan intoleransi dan diskriminasi yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Perda-perda intoleran tersebut sangat nyata bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945," kata Ismail.
Kualitas Legislasi RendahBesarnya jumlah perda yang dibatalkan, menurut Ismail, merupakan bukti nyata rendahnya kualitas legislasi daerah. Mekanisme preventif pembentukan perda yang seharusnya dijalankan oleh Kemenkum HAM dan Kemendagri pun tidak berjalan optimal.
Untuk itu Ismail menyarankan agar pemerintah melakukan reformasi dalam mekanisme legislasi daerah dan garis haluan yang jelas agar sesuai dengan konsistusi dan Pancasila.
"Dibutuhkan juga reformasi mekanisme legislasi daerah dan mekanisme yang memungkinkan adanya konsistensi pembentukan perda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk dengan konstitusi dan Pancasila," kata dia.
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR Arteria Dahlan menyatakan kebijakan dan peraturan perundangan yang dibuat pemerintah daerah atas dasar otonomi wilayah, mestinya wajib tegak lurus dengan UU dan kebijakan pemerintah pusat.
Sementara Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kemarin menyatakan akan mengeluarkan surat edaran kepada kepala daerah supaya tidak lagi mengeluarkan instruksi atau peraturan daerah yang berpotensi menggangu toleransi dan kemajemukan bangsa.
[Gambas:Video CNN] (agk)