Jakarta, CNN Indonesia -- Subaedah sibuk menggoreng ayam di ruang kecil berdinding kawat. Dia memasak untuk persiapan buka puasa ke-29. Hidangan lebaran juga mulai disiapkan. Dapur itu hanya berselang dua kamar dari tempat tinggalnya.
Subaedah tinggal di kamar F324, Rumah Susun Rawa Bebek, Pulo Gebang, Jakarta Timur. Dia merupakan salah satu korban penggusuran di Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Banyak pula tetangganya yang direlokasi di rusun itu.
Lingkungan rusun minim aktivitas. Mayoritas penghuni telah pulang ke kampung halaman. Namun Subaedah masih bertahan. Dia pasrah ketika keinginannya untuk pulang kampung ke Cirebon, Jawa Barat tak terpenuhi. Ongkosnya tidak cukup. Biasanya, dia sekeluarga selalu mudik setiap lebaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tahun kemarin masih mending bisa pulang kampung walaupun punya uang sedikit. Sekarang enggak bisa, banyak kebutuhan," kata Subaedah, saat ditemui di dapur lantai tiga blok F, Rusun Rawa Bebek, Senin (4/7).
Kebutuhan ekonomi keluarganya membengkak begitu tinggal di Rusun. Tiga bulan pertama, warga yang direlokasi memang dibebaskan biaya sewa Rusun. Namun pada bulan keempat, kata Subaedah, ada kewajiban membayar uang sewa sebesar Rp900 ribu. Setelah itu, setiap bulan berikutnya dikenakan biaya Rp300 ribu.
Subaedah mengatakan, setiap bulan keluarganya harus menyisihkan uang untuk biaya sewa rusun, listrik, dan air sekitar Rp600 ribu lebih. Biaya itu di luar anggaran makan sehari-hari dan ongkos sekolah anak.
Apalagi anak ketiga yang berusia enam tahun akan masuk sekolah TK tahun ini. Setidaknya, kata Subaedah, uang Rp450 ribu harus disiapkan.
Selama tinggal di Rusun, penghasilan keluarganya pun berkurang. Tak ada penghasilan lain yang bisa diandalkan selain gaji suami, sopir pengangkut barang di Tanjung Priok. Gaji bulanan yang diterima suaminya sebesar Rp800 ribu.
Perasaannya bercampur aduk saat rumahnya di Pasar Ikan baru seminggu digusur, ibunya di Cirebon meninggal dunia. Dia tak bisa pulang karena tak ada uang. "Sampai sekarang belum pulang kampung," kata Subaedah.
Di lingkungan yang baru, Subaedah mengaku kesulitan mencari penghasilan tambahan di luar gaji suaminya. Dia pernah berdagang gado-gado, tapi tak lama bangkrut. Minat beli masyarakat dinilai rendah. Banyak pula usaha tetangganya yang gulung tikar. Berbeda waktu di Pasar Ikan, dagangan Subaedah lancar.
"Kalau di sini walaupun dikasih tempat tapi kita enggak bisa maju. Yang dagang juga pada mundur semua, paling cuma berapa orang yang kuat modalnya, yang enggak kuat ya pasti guling," ujarnya.
Keempat anak Subaedah masih usia sekolah. Tahun ini putri sulungnya berhenti sekolah setelah lulus SMP. Dia memilih mengikuti program kejar paket C setara SMA. Di usianya yang kelima belas, dia bekerja sebagai penjaga toko untuk membantu ekonomi keluarga.
"Walaupun ada sekolah gratis dari pemerintah, kita harus punya duit buat ongkos anak," katanya.
Beruntung menjelang lebaran, Tunjangan Hari Raya cair. Suami Subaedah mengantongi Rp1 juta. Uang itu cukup untuk makan di hari raya. Tak ada rencana rekreasi di pikiran Subaedah. Apalagi sanak saudara sebagian besar telah pulang ke kampung halaman.
"Setelah salat Id paling keliling di sini (rusun) saja, balik lagi ke rumah, tidur. Enggak ke mana-mana. Kalau pergi namanya banyak duit, foya-foya. Ini yang penting anak-anak bisa makan ayam, ya sudah cukup," kata Subaedah.
Di kamar seluas 5 x 6 meter, Subaedah tinggal bersama seorang suami, empat anak dan satu keponakan. Tak ada dinding penyekat di kamar. Hanya lemari pakaian yang membatasi ruang tidur. Meski ada dipan, mereka lebih suka tidur di kasur lantai agar tidak kegerahan. "Kalau tidur sudah kayak ikan pindang," katanya.
Ruangan itu dipenuhi perabotan rumah tangga. Padahal awalnya, pemerintah hanya menyediakan sebuah lemari, ranjang tanpa kasur, kamar mandi dan ruang kakus.
Rusun itu, menurutnya, lebih cocok untuk para bujang, bukan untuk kebutuhan keluarga. Subaedah mengatakan, akhir tahun ini para korban penggusuran yang sudah berkeluarga rencananya bakal dipindah ke Rusun yang lebih layak. Saat ini Rusun yang dimaksud masih dalam proses pembangunan.
Walaupun hidup dalam keterbatasan, Subaedah tetap bersyukur bisa tinggal di Rusun. Dia menilai lingkungan rusun lebih baik daripada tinggal di Pasar Ikan yang pengap dan tidak baik bagi perkembangan anak.
Rusun itu dijaga lima orang Babinsa dari Kodim Jakarta Timur. Mereka dipekerjakan menjaga Rusun saat memasuki masa pensiun.
"Kalau buat rumah bagus di sini (Rusun), tapi kalau soal ekonomi bagus di sana (Pasar Ikan)," katanya.
Persoalan utamanya, bagi Subaedah, tidak ada sumber penghasilan lain untuk ekonomi keluarga selain mengandalkan gaji suami yang pas-pasan. Masalah lainnya, warga Rusun kesulitan angkutan umum untuk pergi ke pasar. Bus Transjakarta yang masuk ke area rusun hanya mengantar ke Walikota Jakarta Timur.
Berbeda dengan Subaedah, warga Rusun Rawa Bebek bernama Lina Mapi, menyatakan kecewa atas penggusuran rumahnya di kawasan Aquarium, wilayah yang berdampingan dengan Pasar Ikan.
Lina menghuni rumah itu hingga beranak cucu. Pada akhirnya, mereka digusur tanpa ganti rugi. Dia mengaku memiliki sertifikat bangunan yang sah dan selalu membayar pajak bumi dan bangunan. Meskipun bangunan itu, kata Lina, berdiri di atas tanah miliki Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI).
"Kalau dibongkarnya dibayar, saya rela dengan senang hati. Ini dibongkar paksa, enggak dibayar, saya enggak rela," katanya.
Lina nelangsa mengenang rumahnya. Di rusun, dia harus membayar sewa dan tidak berhak memilikinya. Lina merasa tak bebas lantaran terlalu banyak aturan. Tembok dilarang dipaku. Saat masak pun tak boleh mengotori dinding.
"Masih enak di sana, rumah sendiri, di sini kita ngontrak," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Di rusun itu, Lina tinggal bersama anak bungsunya. Sementara anaknya yang lain masih memilih bertahan di lokasi penggusuran, walaupun telah mendapatkan kamar di Rusun Rawa Bebek. Lina mengatakan, sebagian warga Kawasan Aquarium masih bertahan di lokasi penggusuran. Mereka bertahan hingga haknya dipenuhi pemerintah.
(asa)