Jakarta, CNN Indonesia -- Selasa sore itu Sri Rusdiyani masih repot memasak opor ayam dan sayur nangka. Perempuan 62 tahun itu memasak sejak pagi, dibantu ibu-ibu Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, menyiapkan hidangan untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Di sekitar Sri, ratusan ketupat telah matang dan digantung di bawah atap gubuk yang dijadikan dapur umum. Gubuk itu berdiri ala kadarnya, bertiang bambu, berdinding papan, dan beratap terpal sisa gusuran.
Sri mengatakan, ia bertekad salat Id berjamaah di pelataran jalan coran yang masih rata, tak jauh dari Museum Bahari, meski bangunan rumahnya telah rata menjadi puing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Sri, bisa merayakan lebaran bersama warga di tempat tinggalnya merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Biaya makan-makan itu, kata Sri, diperoleh dari sumbangan donatur.
"Yang penting kami bisa salat Id bersama warga sini, itu kebahagiaan, meskipun rumah kami sudah berantakan jadi puing. Habis salat Id kami akan makan ketupat bareng," kata Sri saat ditemui di lokasi penggusuran.
Salat Id dan makan ketupat bersama warga gusuran, menurut Sri, menjadi bentuk perlawanan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
"Kami perlihatkan ke Ahok, kami masih bisa salat Id di sini. Biar Ahok tahu, kami sudah digusur tapi masih bisa masak ketupat," ujar Sri.
Sri menyebut penggusuran 11 April lalu ibarat "rumah-rumahan yang mudah diratakan dengan tangan besi Ahok." Mereka kecewa tak ada ganti rugi untuk rumah yang telah mereka huni puluhan tahun.
"Kami masih menantang Ahok di sini. Sampai proses hukumnya selesai, kami tetap bertahan di sini, kecuali dia mau kasih ganti rugi," tegas Sri.
Bulan ini, peristiwa penggusuran memasuki bulan ketiga. Setidaknya ada 500 bangunan dirobohkan. Kebanyakan rumah-rumah itu dibangun permanen. Banyak pula perabotan rumah tangga yang ludes.
Ribuan aparat dikerahkan selama proses penggusuran. Warga dibuat tak berkutik untuk melawan. "Mati kutu kena gusuran," kenang Sri.
Usai penggusuran, sebanyak 396 kepala keluarga direlokasi di rumah susun Marunda dan Rawa Bebek. Sri salah satunya yang mendapat satu unit di Rusun Marunda. Tapi dia memilih bertahan hidup di lokasi penggusuran hingga proses hukumnya beres dan ada pembayaran ganti rugi.
Hidup di atas puing gusuran bukan keinginan Sri dan warga lainnya. Banyak kendala yang dihadapi. Saat hujan datang, mereka bersiap mengalami kebocoran. Apalagi jika ada badai, atap gubuk terbang tertiup angin.
Selama ini air besih, kata Sri, disuplai dari PAM Jaya yang datang menggunakan truk tangki. Suplai itu pernah mandek. Sri menduga itu ulah Ahok. Saat tak ada pasokan air bersih, Sri membeli air yang dijual keliling kampung.
Sri mengaku kerap melihat orang tak dikenal mondar-mandir masuk ke kawasan tenda warga. Biasanya orang itu naik sepeda motor sambil melihat situasi warga. Sri mencurigai gerak-geriknya dan tak segan menegur dia.
"Itu orang enggak jelas, menjelma. Paling anteknya Ahok," pikirnya.
Senasib dengan Sri, Efendi Aspri (56) juga bertahan di lokasi penggusuran. Dia mendirikan gubuk seluas 5 x 5 meter bekas rumahnya yang dirobohkan buldoser.
Gubuk itu berdinding papan dan spanduk bekas, serta beratap terpal. Lantainya keramik, peninggalan rumahnya. Di gubuk itu dia tinggal bersama lima anggota keluarga.
Efendi sebetulnya mendapat jatah Rusun Marunda. Namun setelah sebulan menempati Rusun itu, dia kembali lagi ke Aquarium untuk bergabung bersama warga lain.
"Rumah masak diganti rusun, kan enggak wajar. Kalau Rusun itu sewa, padahal kami punya rumah sendiri," ujar Efendi.
Sebagian warga yang bertahan di lokasi penggusuran telah mudik untuk merayakan lebaran di kampung halaman. Efendi sendiri akan pulang ke Serang, Banten, setelah Lebaran. Warga kompak pulang kampung secara bergiliran.
"Sebagian warga pulang kampung, pada bergiliran, jaga-jaga takutnya dibongkar lagi," katanya.
Efendi mengatakan, saudaranya di Serang telah memintanya untuk kembali pulang dan meninggalkan Jakarta. Permintaan itu belum dia penuhi hingga haknya dipenuhi negara.
"Sama orang kampung disuruh pulang, tapi pulang bagaimana, di sini kami merasakan rakyat disengsarakan, rumah digusur enggak dibayar," tuturnya. Efendi memilih bertahan bersama ratusan warga Aquarium hingga haknya terpenuhi.
(chs)