Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator Umum Yayasan International People's Tribunal (IPT) 1965 Nursyahbani Katjasungkana menyerahkan salinan putusan Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan (International People's Tribunal on Crimes Against Humanity, IPT) 1965 kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Secara simbolik, hasil putusan itu diterima Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat.
Pada kesempatan itu Nursyahbani mengatakan, Hakim Ketua Zak Yacoob telah memutuskan bahwa Indonesia bertanggung jawab atas tindakan genosida dan sembilan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa tragedi 1965
"Dua kejahatan HAM berat sudah dilanggar negara dalam peristiwa Tragedi 1965-1966," kata Nursyahbani saat memberikan sambutan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (25/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nursyahbani menjelaskan dua pelanggaran HAM berat yang dimaksud yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam yurisdiksi International Criminal Court, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk bagian dari empat pelanggaran HAM berat selain kejahatan perang dan kejahatan agresi.
Sementara sembilan kejahatan terhadap kemanusiaan yang diputuskan hakim yaitu pembunuhan, perbudakan, penahanan, penyiksaan, kekerasan seksual, penindasan, penculikan, penindasan lewat propaganda kebencian, dan keterlibatan negara-negara lain dalam pelaksanaan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Nursyahbani mengatakan, kejahatan genosida yang diputuskan hakim didasarkan pada Konvensi Genosida Internasional 1948 yang salah satu unsurnya yaitu melakukan pembasmian terhadap sebuah kelompok bangsa.
IPT 1965 mencatat pembunuhan massal yang terjadi pada era itu sebanyak 500 ribu hingga 3 juta orang. Namun data yang disepakati berjumlah 500 ribu orang korban.
Terkait pemenjaraan atau hukuman tanpa proses hukum, kata Nursyahbani, kejahatan itu dilakukan selama 1-15 tahun. "Mereka dipenjara tanpa surat pemberitahuan penahanan," katanya.
Perbudakan dan kerja paksa yang terjadi pada masa itu jumlahnya mencapai 10-12 ribu orang di Pulau Buru. Di tempat penahanan, kata Nursyahbani, juga terjadi penyiksaan. Bahkan penyiksaan juga dilakukan sebelum pembunuhan massal terjadi. Sementara kejahatan kekerasan seksual, kata Nursyahbani, dilakukan secara sistemik.
Terkait kejahatan penghilangan secara paksa, hingga kini banyak keluarga yang belum mengetahui di mana keberadaan keluarganya. "Ini menjadi tanggung jawab negara untuk menemukannya," ujar Nursyahbani.
Negara juga melakukan kejahatan pengasingan. Hal itu khususnya dilakukan dalam bentuk pencabutan paspor terhadap ribuan generasi muda terbaik yang ketika itu dikirim Presiden Soekarno ke luar negeri sebagai mahasiswa ikatan dinas.
"Mereka dianggap sebagai pihak yang bersalah secara politik atas peristiwa 1 Oktober 1965," kata Nursyahbani.
Dalam pertemuan itu, Imdadun menerima salinan putusan sidang IPT 1965 yang diadakan di Den Haag, Belanda pada 10-13 November 2015. Dia mengatakan, pihaknya menyampaikan ucapan terima kasih atas kerjasama banyak pihak untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya Tragedi 1965.
"Komnas HAM menyampaikan penghormatan tinggi atas partisipasi dan kontribusi dalam upaya bersama menyelesaikan pelanggaran HAM berat, khususnya kasus kekerasan 1965-1966," kata Imdadun.
Penyerahan salinan putusan itu dihadiri sejumlah komisioner Komnas HAM seperti Nurkholis, Roy Aswidah, Siti Nurlaila. Ketua Komnas Perempuan Azriana juga hadir dalam pertemuan itu. Sedangkan pihak IPT 1965 datang bersama para korban saat menyerahkan putusan tersebut.
Ada tiga rekomendasi dari hasil putusan pengadilan rakyat ini. Pertama, pemerintah Indonesia agar segera dan tanpa pengecualian, meminta maaf pada semua korban, penyintas, dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara terkait peristiwa 1965.
Kedua, menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga, memastikan ada kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas.
(wis)