Jakarta, CNN Indonesia -- "
Gulo getih kelopo putihe, balunge getih nyawiji dadi siji niatan suci, merdekake ibu pertiwi."
Sebait puisi di atas dideklamasikan dengan lantang oleh seorang petani Kendeng, Deni Yuliantini. Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia, puisi itu kira-kira berbunyi: Merah darahku, putih tulangku, menyatu dalam jiwa, berniat untuk tetap membela Ibu Pertiwi.
Puisi itu mencerminkan keteguhan tekad mereka dalam melawan pembangunan pabrik semen di daerahnya. Berbagai cara telah dilakukan. Termasuk dengan menggelar tenda di depan Istana Negara dari tanggal 26 Juli hingga 2 Agustus. Aksi itu dilakukan agar Presiden Joko Widodo menghentikan pembangunan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan memang, tekad dan perjuangan para petani Kendeng tidak sia-sia. Setelah berhari-hari berjuang meyakinkan presiden, pada Selasa (2/8) presiden menyempatkan waktu untuk mengundang dan berbicara dengan para petani Kendeng di Istana Negara.
Hasilnya, presiden memutuskan untuk melakukan kajian lingkungan hidup strategis di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki ditunjuk memimpin kajian tersebut.
Keputusan itu memang tidak menjamin pemerintah bakal menghentikan proses pembangunan pabrik semen di permukiman mereka. Namun pertemuan dan dialog langsung dengan Jokowi setidaknya telah membersitkan asa dalam perjuangan mereka.
Sebagai bentuk apresiasi, spanduk bertuliskan "Terima Kasih Pak Jokowi. Rakyatmu, Nuranimu, Rakyat Bersamamu. Lestari Kendeng, Lestari Indonesia" terpampang di tembok ruang konferensi pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Sukinah (40), salah satu petani Kendeng mengatakan, perjuangan belum berakhir. Penolakan terhadap pembangunan pabrik semen merupakan harga mati. Sebab, kata Sukinah, berkaitan dengan kehidupan banyak anak manusia.
"Penolakan pabrik semen ini harga mati seperti kami menjaga kesatuan NKRI," ujarnya usai konferensi pers di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat, Rabu (3/8).
Ia yakin kesabaran dalam perjuangan bersama ini akan membawa mereka pada kebenaran. Sukinah mengatakan, pembangunan pabrik semen akan mematikan produksi pangan lokal dan memperbanyak produksi pangan impor.
Para petani Kendeng selalu menggunakan pangan lokal untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
"Pembangunan pabrik semen akan menyakiti bumi. Bumi sudah memberikan kenikmatan tak terbatas pada manusia. Ibu Bumi tidak pernah mengeluh, sudah disakiti tapi masih memberikan air cukup, tanaman cukup untuk manusia," kata Sukinah yang tubuhnya dibalut kebaya hitam.
Layaknya geguritan (puisi) yang dibacakan saat konferensi pers, ia ingin seluruh masyarakat Indonesia ikut menjaga keadaan bumi ini.
Para petani Kendeng akan kembali ke kampung halamannya. Kepulangan mereka untuk memberitahukan kepada masyarakat hasil perjuangan yang diperoleh di ibu kota.
Meski tak ada jaminan akan penghentian pembangunan pabrik semen, namun perjuangan mereka di Jakarta telah menyalakan harapan baru untuk masa depan kehidupan warga di kawasan Pegunungan Kendeng.
(wis/rdk)