Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur Papua Lukas Enembe menyatakan ancaman migrasi massal mahasiswa Papua di Yogya akan menyulitkan semua pihak. Masalah itu ia kemukakan ketika bertemu Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada Rapat Koordinasi Nasional VIII Tim Pengendalian Inflasi Daerah di Jakarta hari ini.
“Tujuh ribu orang bagaimana mau dipulangkan sekaligus ke Papua? Itu jumlah yang besar, akan menimbulkan persoalan baru yang kompleks bagi bangsa,” kata Lukas, Kamis (4/8).
Lukas kemarin telah bertemu dan berdialog langsung dengan ratusan mahasiswa Papua di Yogya. Ia juga menemui Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, untuk mencari solusi atas persoalan yang muncul akibat imbas insiden di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Yogya, 15 Juli lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam perbincangan di Asrama Kamasan, Aliansi Mahasiswa Papua menyampaikan tiga tuntutan untuk disampaikan Gubernur Papua kepada Sri Sultan. Pertama, meminta Sultan mencabut ucapannya soal separatis dan menjamin keamanan mahasiswa Papua di Yogya dan tanah Jawa.
Kedua, menuntut ormas reaksioner di Yogya meminta maaf atas pernyataan rasisnya. Ketiga, membuka ruang demokrasi seutuhnya di Yogya dan seluruh Indonesia.
“Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, kami mahasiswa Papua di Yogya dan seluruh tanah Jawa, serta Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi siap eksodus,” kata pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua, Roy Karoba, di Yogya.
Tiga tuntutan Aliansi Mahasiswa Papua itu membuat pening Gubernur Lukas. Dalam pertemuan Lukas dengan Sultan di Keraton Yogyakarta, Sultan kembali menegaskan tak boleh ada gerakan separatis di Yogya. Ia tak mengizinkan Yogya sebagai ibu kota Republik Indonesia di masa lalu, menjadi tempat untuk menyuarakan referendum dan kemerdekaan Papua, pun meski kebebasan berpendapat dilindungi konstitusi.
Perbedaan pandangan antara Sultan dan mahasiswa Papua itu masalah serius bagi Lukas. Terlebih dengan ancaman eksodus yang berkali-kali dilontarkan.
“Kalau (mahasiswa Papua) datang ke sini, kuliah, belum selesai, lalu dipulangkan ke Papua. Otomatis nanti orang-orang dari luar (Papua) bisa ikut dipulangkan (dari Papua),” ujar Lukas.
Jika ada kesempatan, kata Lukas, ia akan melaporkan masalah ini langsung kepada Presiden Jokowi.
Kepada Kapolri, Lukas meminta agar tak ada lagi orang atau mahasiswa Papua yang menjadi korban kekerasan agar persoalan tak berkembang makin rumit.
“Oke Pak, tapi Pak Gubernur juga perlu kasih tahu anak-anak itu supaya jangan anarki,” kata Tito yang pernah menjabat sebagai Kapolda Papua.
Dari Yogya, Roy mengatakan Kapolri mestinya datang langsung ke Yogya untuk melihat fakta lapangan siapa sesungguhnya yang bertindak anarki.
“Kapolri sebagai kepala penegak hukum di Indonesia sebaiknya memberikan pernyataan yang mengayomi, bukan mendiskriminasi kami. Mestinya lihat fakta dan bukti di lapangan dulu,” ujarnya.
 Gubernur Papua Lukas Enembe saat bertemu Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Jakarta, Kamis (4/8). Dalam pertemuan itu, ia menyinggung persoalan mahasiswa Papua di Yogya. (CNN Indonesia/Puput Tripeni Juniman) |
Genjot pembangunanGubernur Lukas, selain kemarin bertemu mahasiswa dan Sri Sultan di Yogya, juga menghadiri diskusi “Strategi Alternatif Percepatan Pembangunan Papua” di Universitas Gadjah Mada yang digelar Gugus Tugas Papua UGM.
Diskusi itu diikuti antara lain oleh para akademisi, Rektor UGM Dwikorita Karnawati, utusan Kantor Staf Presiden, perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, staf khusus Menteri Luar Negeri RI, mantan Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Manuel Kaisiepo, dan Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib.
“Pak Gubernur menyampaikan Papua sangat terlambat dalam memulai pembangunan, baru terlihat saat otonomi khusus tahun 2001. Namun desentralisasi fiskal besar dan dana otsus belum optimal mengejar ketertinggalan Papua,” kata Ketua Kelompok Kerja Papua UGM Bambang Purwoko kepada
CNNIndonesia.com.
Menurut Gubernur Lukas, ujar Bambang, “Selama ini banyak kebijakan dan alokasi anggaran pemerintah nasional melalui kementerian dan lembaga ke Papua, yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ini persoalan besar. Jakarta punya prioritas pembangunan yang berbeda dengan Papua.”
Merespons gagasan pemerintah pusat melalui Bappenas dan Kantor Staf Presiden untuk membentuk lembaga baru bagi percepatan pembangunan Papua, kata Bambang, Lukas tak setuju jika lembaga tersebut hanya memiliki fungsi koordinasi seperti lembaga yang sebelumnya ada.
Lembaga baru itu, ujar Lukas, harus memiliki anggaran sendiri dan memiliki wewenang melaksanakan kebijakan strategis untuk pembangunan Papua. Ia juga berkata, mestinya lembaga tersebut berupa kementerian.
Namun Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib berpendapat, lembaga baru bukan jawaban atas persoalan Papua. Baginya, paling penting melakukan revitalisasi semangat otonomi khusus dengan merevisi atau menyempurnakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Revisi diharapkan dapat mempermudah implementasi operasional otsus agar akselerasi pembangunan di Papua berjalan mulus.
Jika revisi UU Otonomi Khusus nantinya menjadi pilihan, hal itu memerlukan proses panjang dan berliku karena melibatkan proses politik dan tarik-menarik kepentingan di Dewan Perwakilan Rakyat RI yang sama sekali tak mudah.
Terlepas dari pencarian bentuk percepatan pembangunan Papua yang belum mencapai titik temu, Kelompok Kerja Papua UGM menggenjot upaya peningkatan pendidikan di provinsi paling timur Indonesia itu.
Pokja Papua UGM sejak tahun 2013 mengirim guru-guru perintis ke Kabupaten Puncak dan Intan Jaya. “Kami yakin pendidikan di daerah-daerah itu akan paling maju di Papua karena adanya intervensi positif ini,” ujar Bambang.
Saat ini Kabupaten Mimika juga mengajukan kerja sama dengan Pokja Papua UGM untuk dikirimi guru-guru perintis.
Hasil diskusi di UGM itu hari ini dibawa ke Jakarta untuk ditindaklanjuti secara lebih konkret.
(agk)