Berlimpah Cinta dari Yogya untuk Papua

Anggi Kusumadewi | CNN Indonesia
Rabu, 10 Agu 2016 11:39 WIB
Poster satire berkelebatan di jagat maya. Bunyinya tajam: setiap orang berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, kecuali orang Papua.
Ilustrasi. (REUTERS/Muhammad Yamin)
Yogyakarta, CNN Indonesia -- Insiden di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I Yogyakarta 15 Juli lalu bergaung ke seluruh negeri. Foto Obby Kogoya, mahasiswa Papua di Yogya yang lubang hidungnya ditarik dan kepalanya diinjak saat insiden terjadi, langsung viral. Menyebar sekejap di jagat maya, memicu kemarahan tak terkecuali dari sebagian warga Yogya.

Situasi kian runyam karena insiden diwarnai lontaran kata-kata rasialis dari para anggota ormas antiseparatis. Tentangan terhadap tuntutan referendum Aliansi Mahasiswa Papua membuat asrama dikepung dan penghuninya jadi sasaran cercaan.

Dalam hitungan jam, berbagai poster satire pun berkelebatan di media sosial. Bunyinya tajam. “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat... kecuali orang Papua.”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seorang seniman di Yogya melontarkan kegusarannya di media sosial. “Adalah hak di negara demokrasi bagi siapapun untuk menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana gerombolan prokeistimewaan pada tahun 2010 mengancam referendum bila pemerintah pusat tak mengakui keistimewaan DIY. Bukankah itu juga separatisme? Bila benar Yogya kota budaya, hentikan rasisme. Berhenti saling mengancam sikap politik sesama warga.”

Forum Solidaritas Yogya Damai langsung mengeluarkan surat terbuka berisi dukungan kepada orang Papua di kota mereka.

“Kepada yang tercinta, kawan-kawan di Indonesia Timur. Yogya sedang berkabung. Kedamaian sulit ditemukan. Dari Aceh hingga Papua... lahan direbut, kampung dicerabut, rakyat dibikin ribut. Kami tidak bisa menganggapnya biasa. Karena pada suatu hari yang nahas, untuk kesekian kalinya, berlapis-lapis pasukan bersenjata mengepung Asrama Papua. Mereka bukan hanya polisi melainkan milisi. Mereka meneriakkan makian. Kekerasan di rumah kita telah lama diabaikan. Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang berpijak pada kemanusiaan,” demikian petikan surat itu.
Usai insiden, sejumlah aktivis prodemokrasi Yogya bolak-balik keluar masuk Asrama Papua, mengecek kondisi penghuninya, memantau kabar soal rekan Papua yang diproses di Kepolisian. Hubungan mereka erat bak saudara sendiri.

“Kakak tadi ditanyai petugas. Katanya, ‘Siapa itu yang setiap hari datang ke asrama?’” ujar salah satu mahasiswa Papua yang baru tiba di asrama siang itu, ketika CNNIndonesia.com bertandang ke sana. Ia baru pulang dari Markas Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menengok kawan mereka yang ditahan saat insiden.

Mahasiswa Papua itu berucap setengah berbisik kepada kawannya dari gerakan prodemokrasi Yogya. Sang kawan menimpali santai sembari tersenyum, juga dengan nada pelan, “Oh ya, apa lagi kata mereka? Kamu jawab apa?”

Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta. Insiden di asrama ini pada 15 Juli berbuntut panjang. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi)
Gerakan prodemokrasi Yogya dekat dengan aktivis-aktivis Papua karena mereka kerap menggelar aksi bersama. Keduanya tak senang dengan kelompok-kelompok intoleran yang menguat di Yogya, yang biasa membubarkan acara ini itu karena berbagai alasan.

Secara terpisah, Andrew Lumban Gaol, seniman kelahiran Medan yang kini tinggal di Yogya, berkata, “Kita bisa mendukung kemerdekaan Palestina, kenapa tidak mendukung orang-orang Papua memilih nasibnya sendiri? Saya hanya berempati. Mestinya kita memahami perbedaan pandangan politik orang lain.”

Empati, bukan antipati

Kamis malam, 21 Juli, sepekan setelah insiden di Asrama Kamasan I, sejumlah mahasiswa Papua berkumpul di kediaman Bambang Purwoko, Ketua Kelompok Kerja Papua Universitas Gadjah Mada. Pada saat yang sama, di rumah Bambang juga ada tamu istimewa, yakni staf khusus Presiden yang datang khusus untuk mengetahui persoalan yang dihadapi mahasiswa Papua di Yogya.

“Saat itu saya mau berangkat ke Jayapura dan mengadakan pertemuan di rumah karena ada staf khusus presiden ingin berbincang dengan mahasiswa Papua. Cukup banyak yang datang, termasuk mahasiswa non-UGM,” kata Bambang di kediamannya, Sleman, DIY, Minggu (30/7), sesaat setelah tiba dari Papua.

Sebagai Ketua Pokja Papua UGM, Papua seperti rumah kedua bagi Bambang. Ia menjelajah Papua dari pantai hingga gunung, dan menjadi salah satu tempat bertanya Kantor Staf Presiden, Keraton Yogyakarta, sampai Gubernur Papua tentang berbagai hal terkait Papua.

Bambang amat menyesalkan insiden di Asrama Papua. Menurutnya, hal itu memicu ekspose luas dalam jangka panjang, bahkan berpotensi memperburuk hubungan antarwarga di Yogya maupun Papua.

“Seharusnya semua pihak di Yogya belajar memahami bagaimana cara bersaudara dengan baik, hidup bersama secara humanis. Tidak perlu overacting. Mari terima saudara-saudara Papua dengan baik sebagaimana kita juga diterima dengan baik ketika berada di Papua,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM itu.

“Saudara Papua harus dikasihi dan dipahami. Harus dicari tahu apa yang mereka inginkan dan kenapa demikian,” kata Bambang.

Ia mengatakan, kebutuhan dasar rakyat Papua saja hingga kini belum terpenuhi. Hal itu menyebabkan kekecewaan warga Papua terus berakumulasi. Persoalan Papua, ujarnya, tak semata politik, melainkan ekonomi dasar.

“Negara tidak hadir di hadapan masyarakat Papua. Mereka sulit mengakses pelayanan publik. Harga-harga barang di wilayah pegunungan sangat mahal. Semen Rp2 juta, air mineral 600 mililiter sebotol Rp30 ribu, air 300 mililiter Rp20 ribu, beras Rp50 ribu. Masyarakat miskin masih harus membayar mahal untuk kebutuhan dasar mereka,” kata Bambang dengan nada jengkel.

Sesungguhnya, ujar Bambang, hal tersebut telah dikomunikasikan berkali-kali kepada Presiden Jokowi. “Beliau paham, tapi tak semua menterinya punya komitmen sama. Anggaran triliunan yang terserak di kementerian sering dialokasikan untuk hal-hal yang secara riil tidak menjadi kebutuhan masyarakat Papua.”

Maka letupan di Asrama Kamasan Yogya dinilai Bambang sebagai efek dari kumpulan kekecewaan atas apa yang terjadi di Papua.

“Tuntutan merdeka bukan cuma persoalan ideologi, tapi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat Papua,” kata dia.
Bambang mencontohkan problem yang dihadapi sejumlah mahasiswa Papua di Yogya. “Tak semua mahasiswa Papua melewati tahun pertama kuliah dengan mulus. Beberapa dari mereka, misal yang berasal dari gunung, kesulitan karena diperlakukan dosennya sama seperti mahasiswa lain pada semester awal. ‘Review bab ini, kumpulkan pekan depan.’ Dia tidak paham, tapi tak tahu mau konsultasi ke siapa. Tidak ada yang membimbing, lalu frustasi. Sudah adaptasi sulit, masih ditambah masalah stereotip sosial. Akhirnya lari ke minum-minum.”

Ia menegaskan, “Melihat persoalan Papua, termasuk yang terjadi di Asrama Kamasan, tidak bisa menggunakan logika kita sebagai orang Jawa, Jakarta, Yogya. Bagaimanapun, mereka hidup dalam tradisi yang berbeda. Penting sekali untuk mengedepankan hati dan empati.”

Dari latar belakang pendidikan saja, ujar Bambang, sebagian mahasiswa Papua tidak bisa dibandingkan dan dipukul rata dengan pelajar dari daerah lain.

“Kondisi pendidikan di Papua secara riil buruk sekali. Anak-anak SMA belum bisa baca tulis itu wajar di sana. Sudah umur 16 tahun masih belum sekolah, lantas dimasukkan SD, langsung daftar kelas enam. Tidak pernah datang ke sekolah, tahu-tahu muncul menjelang ujian dan minta harus lulus. Masyarakat memaksa, guru-guru tak berdaya, akhirnya dia lulus. Ijazah SD dipakai mendaftar ke SMP, masuk langsung kelas tiga. SMA juga begitu karena dari segi umur mereka sudah tua. Lalu masuk perguruan tinggi dengan sistem kuota.”

Banyak pengajar jadi serbasalah dalam mengajar dan meluluskan murid. Seorang dosen di Papua, kata Bambang, pernah didatangi mahasiswanya. “Bapak mau hidupkah? Mau kasih saya nilai B-kah? Kalau teman satu kampung dapat B, saya juga harus. Saya tra berani pulang kampung kalau tidak dapat B.”

Kondisi ini, ujar Bambang, masih terjadi sampai sekarang. Sebanyak 1.028 mahasiswa Papua yang kuliah dengan dana otonomi khusus pun, tak semua lulus dengan baik.

Seorang peneliti di Yogya menceritakan kenangannya dengan seorang kawan Papua. “Aku punya teman sekelas dari Papua di kampus, namanya B. Dia selalu berkata, ‘Jangan samakan aku dengan dia. Kalau aku pintar kayak dia, aku sudah jadi bupati di Papua.’”

B berasal dari pedalaman Papua. “Asal pakai sandal, celana terpasang, dia berangkat ke kampus. Tak pernah bikin makalah. Pernah dia bikin makalah, dosen berkata, ‘Apa ini yang kamu tulis?’ Dia lantas menjawab, ‘Aku sendiri tidak mengerti, Bapak Dosen! Bagaimana aku bisa paham, masuk SD baru umur 13 tahun.’”

Penting diingat, kata Bambang, mahasiswa Papua tak satu tipe. Mereka memiliki latar belakang sosial budaya beragam karena Papua dan Papua Barat membentang luas, melebihi ukuran Pulau Jawa.

“Papua tidak terdiri dari satu suku. Ada 320 subetnis dengan 300 lebih suku dan bahasa. Satu kampung bisa terdiri dari beberapa kelompok penutur bahasa yang berbeda. Sesama orang gunung saja macam-macam,” ujar Bambang.

Tanah Papua yang terbentang luas, melebihi ukuran Pulau Jawa, memiliki lebih dari 300 suku dengan bahasa daerah masing-masing. (Getty Images/Agung Parameswara)
Merangkul Papua

Direktur LKiS Hairus Salim dalam akun Facebook-nya dua hari sesudah insiden di Asrama Mahasiswa Kamasan mengunggah kisah berjudul “Suatu Hari yang Indah dengan Kakak-kakak dari Papua.”

Hairus bercerita, sekitar lima tahun lalu Yayasan LKiS mengundang kawan-kawan Papua ke empat SD Islam di pinggiran Yogya. Saat itu LKiS menggagas kegiatan untuk memperkenalkan kemajemukan kepada anak-anak sekolah.

LKiS, akronim dari Lembaga Kajian Islam dan Sosial, merupakan organisasi nirlaba independen dengan misi mewujudkan tatanan Islam transformatif yang berpihak pada keadilan, kemajemukan, dan ke-Indonesiaan.

Semula, karena keterbatasan kendaraan dan konsumsi, LKiS hanya mengajak empat kawan Papua. Namun ternyata yang datang lebih banyak. Mereka membawa motor sendiri dan saling bonceng.

“Enggak usah Bapak pikir soal transportasi dan konsumsi. Kami bisa urus itu sendiri. Kitorang senang dengan ini acara,” kata salah satu kawan Papua saat melihat kekhawatiran LKiS soal logistik yang kurang.

Sampai di sekolah yang dituju, suasana masih agak kikuk, murid-murid masih malu-malu. Namun perlahan mereka dan kakak-kakak Papua membuka percakapan dan menari bersama. Awalnya yang menari satu kelas, lalu satu sekolah termasuk guru-guru turun ke lapangan, kemudian warga kampung di sekitar sekolah juga ikut.

Obrolan juga kian seru. Seorang kakak Papua bercerita, sewaktu SD dia harus berjalan kaki 15 kilometer ke sekolah melewati sungai dan bukit berbatuan. Jika dihitung jarak pulang pergi, ia berjalan sepanjang 30 kilometer.
Pertemuan kedua, ketiga, dan keempat di tiga SD lain berlangsung kian semarak. Kakak-kakak Papua makin banyak yang bergabung. Murid, guru, orang kampung, semua senang. Acara sukses besar.

“Saling hormat dan empati terbangun satu sama lain. Ngobrol bebas, lepas, membuat suasana akrab. Personalisasi itu penting, memperlakukan orang sebagai pribadi-pribadi, bukan sebagai rombongan dengan sejumlah prasangka dan stereotip,” kata Hairus.

Masih banyak kasih berserak untuk Papua di Yogya. (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER