Yogyakarta, CNN Indonesia -- Wajah Roy Karoba tampak kusut. Ia baru bangun tidur siang itu, kala matahari sudah di atas kepala. Tempat tinggal Roy, Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, masih sepi. Hanya satu-dua orang sesekali keluar masuk asrama itu dengan motor berbunyi bising.
Suasana tenang di Asrama Papua hari itu, Kamis (28/7), amat berbeda dengan dua pekan sebelumnya, saat asrama dikepung oleh seribu lebih polisi dan anggota sejumlah organisasi kemasyarakatan, dengan lontaran kata-kata rasialis melayang di udara.
Asrama yang dari depan terlihat seperti rumah biasa itu memanjang luas ke belakang, dengan ruang terbuka di tengah yang kadang digunakan para penghuninya untuk bakar batu atau memasak bersama dengan api unggun –tradisi khas Papua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para penghuni asrama itu, menurut beberapa warga sekitar, jarang bercengkerama dengan warga sekitar. Meski demikian, warga menyebut tak ada masalah antara mereka dengan penghuni asrama.
“(Penghuni asrama)
ndak campur sama orang Jawa. Cuma pas makan di luar. Kalau sudah selesai makan, ya pulang lagi ke asrama.
Lek enek sing mabuk, medeni (Kalau ada yang mabuk, membuat takut). Tapi kalau enggak mabuk, biasa, perilaku baik,” kata seorang pedagang angkringan di Miliran, daerah sekitar Asrama Papua.
Roy bukannya tak tahu orang Papua di Yogya mendapat stigma pemabuk. Ia berkata, minuman keras sesungguhnya paling ia takuti. Kebanyakan mahasiswa Papua di Yogya, ujar Roy, justru tak mabuk-mabukan di daerah asal mereka. Oleh sebab itu mereka, terutama mahasiswa baru, cepat mabuk jika menenggak minuman keras.
“Kami tahu dengan mengonsumsi minuman keras, dia akan melakukan tindakan yang tak disadari. Kami berpendapat miras memicu konflik, dan kami malah ikut menyebarkan brosur menolak miras di DIY,” kata Roy yang menjabat sebagai pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua.
Roy yang dulu berkuliah di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, menyadari stereotip negatif amat lekat dengan orang Papua di Yogya. Hal itu bertambah parah karena, menurutnya, ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menyebarkan opini keliru tentang mahasiswa Papua di Yogya. Mereka misal disebut sering rusuh.
“Kami tak pungkiri ada kawan kami berbuat seperti itu. Tapi yang jadi persoalan, hal itu dipukul rata ke semua mahasiswa Papua. Akhirnya teman-teman lain jadi korban. Ketika mereka cari kos, ditolak karena dianggap pembuat onar,” ujar Roy saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com di Asrama Kamasan I.
Padahal, kata Ernawati dari gerakan prodemokrasi Yogya, yang berbuat onar bukan cuma orang Papua. “Tapi karena orang Papua secara fisik terlihat hitam, maka stigmanya jelek.”
Roy berkata, stereotip terhadap orang Papua di Yogya makin parah lima tahun terakhir. “Ketika kami nonton bola, Persipura yang main, kami diteriaki ‘monyet’ dan dilempari pisang di stadion.”
Yang tak masuk akal, kata Roy, beberapa kali asrama Papua dikepung padahal tak ada orang di dalam asrama. Hal itu misalnya terjadi pada 1 Desember 2015 –tanggal yang biasa diperingati sebagai ulang tahun Organisasi Papua Merdeka dan hari deklarasi kemerdekaan Papua.
“Pada 1 Desember itu tidak ada acara apa-apa di sini karena aksi digelar di Jakarta. Tapi Asrama Papua di Yogya tetap jadi sasaran pengepungan ormas dan aparat,” kata Roy.
 Aparat Kepolisian mengepung Asrama Mahasiswa Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, 15 Juli. (ANTARA/Hendra Nurdiyansyah) |
Diskriminasi, ujar Presiden Mahasiswa Papua DIY Aris Yeimo, juga terjadi dalam bentuk penegakan hukum yang timpang terhadap kasus-kasus yang melibatkan mahasiswa Papua. Bila orang Papua jadi korban, perkara tak pernah tuntas diusut. Namun jika orang Papua jadi pelaku kejahatan, kasus begitu cepat ditangani.
Di luar segala insiden dan stereotip terhadap orang Papua, Roy sebetulnya senang tinggal di Yogya. Biaya hidup sehari-hari di Yogya jelas lebih murah ketimbang di Papua. Yogya pun memberikan ilmu dan jejaring pertemanan luas baginya.
“Di Yogya kami dapat banyak teman, bisa bangun komunikasi dengan kawan-kawan daerah lain sehingga bisa saling memahami kondisi di berbagai daerah. Wawasan kami jadi lebih luas. Banyak ilmu kami dapatkan di sini,” ujar Roy.
Dia berkata lagi sembari tersenyum, “Siapa tak tahu Yogya? Yogya terkenal sebagai kota pendidikan. Sejak SMP, saya sudah tahu Yogya. Ada juga saudara saya lebih awal pergi ke sini. Akhirnya saya ke Yogya saja. Ternyata sampai di Yogya, betah juga.”
Roy tiba di Yogya pada 2007, dan sampai sekarang masih kerasan tinggal di kota itu. Pun selepas insiden di Asrama Mahasiswa Papua, dia memiliki kawan-kawan asli Yogya yang terus memberikan dukungan seperti Ernawati.
Privilese berujung rasialismeErnawati bercerita, orang Papua generasi pertama yang datang ke Yogya diberi semacam privilese atau hak istimewa. Banyak di antara mereka dijadikan centeng, bahkan preman.
“Mereka diberi banyak keleluasaan. Kafe-kafe di Seturan misal, penjaga-penjaganya kebanyakan orang timur, paling banyak asal Nusa Tenggara Timur dan Papua,” kata Ernawati yang tergabung dalam Forum Solidaritas Yogya Damai.
Seorang mahasiswa di Yogya mengatakan, polisi bahkan diam saja ketika melihat orang Papua bermotor tanpa helm. Mereka kerap dibiarkan melintas, sementara warga non-Papua yang tak mengenakan helm langsung disetop.
Seiring posisi orang Papua yang menguat di Yogya, kecemburuan sosial meningkat.
“Status orang Papua semakin tinggi, sedangkan banyak orang Yogya asli yang tidak dapat lahan pekerjaan dan kian terdesak dengan pengusaha-pengusaha Jakarta yang masuk ke Yogya. Puncaknya, terjadi perubahan besar ketika preman timur dihabisi dalam kasus Cebongan,” ujar Ernawati.
Kasus Cebongan ialah peristiwa penembakan terhadap empat tahanan penghuni Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, DIY, pada 23 Maret 2013. Keempatnya berasal dari Nusa Tenggara Timur, dan merupakan pelaku pengeroyokan yang menewaskan anggota Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat, Sersan Kepala Heru Santosa, di Hugo’s Cafe, Jalan Adisucipto, empat hari sebelumnya.
Para penembak kelompok preman NTT yang berdasarkan investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia “bergerak singkat, cepat, dan terencana” itu adalah selusin anggota Kopassus Grup 2/Parakomando Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah.
Kasus Cebongan mengirimkan efek kengerian yang luar biasa di kalangan orang Indonesia timur yang berada di Yogya, dan mengawali redupnya kejayaan orang timur di kota itu.
“Peristiwa di Asrama Papua Kamasan tak seberapa menimbulkan ketakutan di Yogya dibanding kasus Cebongan ketika empat tahanan NTT mati dibantai Kopassus. Saat itu terjadi razia dan ketakutan massal karena orang NTT di-
sweeping,” kata Tri Agus Susanto, dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa AMPD –kampus yang 40 persen mahasiswanya berasal dari timur Indonesia, terutama Papua dan NTT.
Sejak kasus Cebongan, pendulum berbalik arah.
Masa keemasan orang timur di Yogya memudar, seiring menguatnya sejumlah ormas. Anggota ormas itu perlahan menggantikan peran preman timur.
“Sekarang penguasanya ialah ormas intoleran. Mereka dikumpulkan untuk ‘mengamankan’ Yogya dari Papua,” ujar Ernawati.
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan, stigma negatif terhadap warga Papua, pun fobia Papua, muncul di kalangan ormas dan masyarakat Yogya dalam lima tahun terakhir.
“Orang Papua memang tak beruntung di sini karena warna kulit mereka. Kasihan sekali. Cari kos saja susah. Belum juga mengobrol, sudah dibilang kos penuh. Sekarang ditambah lagi sebagian dari mereka mengusung isu kemerdekaan. Makin runyam,” kata seorang peneliti di Yogya yang tak mau namanya disebutkan.
Oleh sebab itu, tuntutan agar orang Papua berbaur intens sehari-hari dengan masyarakat Yogya, ia anggap tak semudah mengucapkannya.
“Orang Papua dikritik jika tinggal di asrama, dibilang enggak mau bergaul. Mereka diimbau tidak langsung masuk ke asrama ketika baru tiba di Yogya, agar mengenal warga setempat. Tapi bagaimana mau berbaur, cari kos saja susah,” ujarnya.
Orang Papua duduk bersama saja, kata dia, langsung disebut tak berbaur. Padahal, bisa jadi mereka tak saling kenal karena berasal dari daerah yang berbeda di Papua.
“Mari kita bandingkan. Misalnya saya dari Yogya, kamu Jakarta, dan kamu Surabaya. Kalau kita duduk bertiga di sini, orang melihat kita biasa saja meski kita sama-sama berasal dari Pulau Jawa. Tapi kalau saya dari Merauke, kamu Sorong, dan kamu Timika, kita duduk bersama, orang akan bilang, ‘Tuh kan, mereka tidak mau berbaur.’ Padahal kita tidak saling kenal, dan antara Merauke-Sorong-Timika jaraknya jauh dan bahasanya bisa beda. Tapi sialnya kulit sama hitam. Prinsip dasar rasialisme ada di situ,” ujarnya.
Beda budayaSalah satu warga asli Yogya yang tinggal di Mergangsan, Rudi Hendra, yakin berbaur dan bersikap ramah menjadi kata kunci hubungan baik antara orang Papua dan Yogya.
“Itu ibarat kalau mau masuk ke rumah orang permisi, enggak bisa langsung masuk. Yogya kan lekat dengan kebudayaan yang halus dan ramah. Kalau orang Papua mau beraur, bercanda, berteman sama orang Jawa, pasti enggak bakal bentrok,” kata Rudi.
Ada sejumlah orang Papua yang tinggal di lingkungan Rudi, dan menurutnya, mereka berbeda karakter. Ada yang baik, ada pula yang menjengkelkan.
“Seperti Yin dan Yang, yang putih ada titik hitamnya, dan yang hitam ada titik putihnya. Tak ada yang sempurna. Enggak semua orang Papua jelek, dan enggak semua orang Yogya jahat,” ujar Rudi.
Ia kerap merasa sungkan jika hendak menegur lebih dulu orang Papua yang memiliki watak menutup diri di sekitarnya.
“Saya pengen banget ngobrol sama anak-anak Papua yang lewat sini, tapi susah. Saya enggak tahu bahasa dia. Mau manggil saja ragu hendak menyebut apa. Apa ‘Mas’ atau ‘Dik.’ Padahal kalau dia menyapa, ‘Permisi Mas’, pasti langsung saya ajak ngobrol. Tapi mereka cuek saja,” kata Rudi.
Rasa canggung juga menghinggapi warga sekitar terhadap seorang mahasiswi Papua yang pernah indekos di daerah mereka. Dia akhirnya diminta sang induk semang angkat kaki dengan alasan rumah mau direnovasi.
“Dia diapeli sampai jam 12 malam. Mungkin tengah malam di sini, kalau di daerah asalnya masih sore. Kalau diingatkan marah. Tambah lagi pacarnya bawa motor berisik masuk kampung sini, bukan motor standar biasa.”
Adat berbeda antara Papua dan Yogya tak dapat dinafikan. Warga Yogya lainnya mencoba paham. “Sebagian orang Papua datang dari kampung. Makanan mereka ubi, beda dengan orang sini. Mereka senang membakar ubi bersama-sama.”
 Tradisi bakar batu. Warga Papua kerap membakar makanan bersama-sama. (CNN Indonesia/Ardita Mustafa) |
Andai perbedaan kebiasaan dibicarakan baik-baik, Rudi yakin tak bakal terjadi masalah antara warga Yogya dan Papua.
“Pernah ada anak Papua menemui saya, mau pinjam tempat untuk pesta ulang tahun temannya. Tapi dia ingin pinjam tempat sampai pagi, sedangkan di kampung saya aturannya maksimal sampai jam 11 malam. Saya tawarkan sampai jam 12 malam, tapi dia tidak mau karena mereka mau nyanyi-nyanyi sambil menabuh tifa (gendang kecil), dan minum-minum. Saya enggak kasih izin kecuali ada izin RT. Akhirnya dia tidak jadi pinjam tempat. Tapi kami baik-baik saja, enggak ada masalah karena bicara bagus.”
Melihat orang Papua, menurut Ketua Kelompok Kerja Papua Universitas Gadjah Mada Bambang Purwoko, tak bisa dengan sudut pandang Jawa dan Jakarta.
“Kita tidak bisa menggunakan logika kita sebagai orang Jawa, Jakarta, Yogya, karena bagaimanapun mereka hidup dalam tradisi yang berbeda. Penting sekali untuk mengedepankan hati dan empati,” kata Bambang.
Presiden Mahasiswa Papua di DIY, Aris Yeimo, usai bertemu Sri Sultan Hamengkubuwono X di Kepatihan, Jumat (29/7), mengatakan Sultan bersedia menjamin keamanan orang Papua di Yogya meski secara lisan, bukan tertulis.
“Sultan minta kami (orang Papua dan warga Yogya) mau sadar, saling introspeksi. Intinya kami tetap ingin jaga Yogya istimewa,” kata Aris.
Ia dan kawan-kawan Papua di Yogya kembali beraktivitas meski resah hati tak jua hilang, dan ancaman eksodus tetap digaungkan.
(agk)