Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Pagi di rumah saya semasa kecil selalu menjadi keributan. Ayah menggedor pintu berulang-ulang, memaksa kelopak mata yang masih tertutup rapat untuk terbuka. Ibu menyiapkan sarapan dan bekal.
Pukul enam pagi kami, kedua anaknya, sudah harus berseragam rapi dan siap dijemput. Saat itulah ayah dan ibu melepas kami dengan ciuman di kedua pipi. Sekolah mulai pukul tujuh.
Pada pukul enam pula kami terakhir melihat wajah ayah dan ibu hari itu. Selebihnya kami di sekolah. Mengaji sampai pukul delapan, belajar satu atau dua mata pelajaran sampai pukul sepuluh, lalu istirahat pertama. Makan bekal yang disiapkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelajaran kembali dimulai sampai waktu Duhur tiba. Kami lalu diharuskan salat berjamaah di masjid, disambung makan siang yang mejanya dibagi per kelas. Lalu lanjut belajar sampai pukul tiga sore. Sampai waktunya salat Ashar.
Jangan harap kami bisa pulang setelah itu. Pelajaran masih berlanjut sampai pukul lima sore. Sampai bel empat kali, pertanda sekolah selesai, berdentang dan kami melonjak kegirangan.
Kembali ke antar jemput bukan berarti hari itu berakhir. Terkadang kami masih harus pulang ke kantor salah satu orang tua kami, karena mereka lembur. Sesekali kami langsung pulang, mengerjakan PR, tidur sebelum orang tua kami sampai rumah. Menjemput keributan esok pagi.
Berada di sekolah seharian, atau
full day school yang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy gagas baru-baru ini di awal pemerintahannya, sudah saya rasakan sejak 1993.
Waktu itu saya angkatan ke-empat di sekolah. Termasuk baru untuk sistem
full day school. Apalagi itu di Surabaya, bukan Jakarta.
Enam tahun saya 'dititipkan' orang tua ke sekolah, swasta tentu saja, karena mereka sibuk. Alasan lainnya, demi mendapatkan dasar pendidikan yang baik. Apalagi itu sekolah berbasis agama Islam.
Saya bukan tidak bangga dengan itu. Apalagi sekolah tempat saya menempuh pendidikan dasar dahulu terbilang bagus. Meski tentu, agak mahal.
Bahwa sekolah dasar membentuk karakter saya, itu betul. Kami didisiplinkan mengaji setiap pagi, berinfak sebelum memulai pelajaran, salat tepat waktu dan berjamaah, jujur di kantin tanpa penjaga, dan lainnya.
Jarang kami jajan sembarangan. Kami tidak takut penculikan karena selalu ada antar-jemput. Kami tidak menonton televisi seharian. Tak tahu apa itu pacaran. Perpustakaan adalah ruang ternyaman.
Bobot pelajaran memang lebih berat, tapi anggap saja itu latihan hidup. Kelak saat dewasa, beban hidup bakal lebih berat lagi bukan? Dan kami sudah terbiasa dengan tempaan terberat sekali pun.
Sabtu, kami berkegiatan ekstrakulikuler. Di tingkat pertama sampai ke-dua saya memilih bela diri, lalu musik daerah di tingkat ke-tiga sampai ke-empat.
Kualitas gurunya, jangan ditanya. Mereka seperti tidak pernah lelah mengajar. Dan membimbing. Saya ingat pernah dipanggil seorang guru karena dilihatnya saya tidak bersemangat. Dia bertanya ada apa. Waktu saya jawab bangun kesiangan, dia sarankan salat satu rakaat sebelum tidur agar bisa bangun Subuh esok harinya dan takkan kesiangan.
Hubungan guru-murid sudah seperti orang tua-anak. Kami saling kenal baik. Terkadang saya berkunjung ke rumah mereka di akhir pekan. Bahkan sampai sekarang, 23 tahun kemudian, mereka masih ingat betul saya adalah muridnya.
Dan selama 23 tahun itu, pendidikan-pendidikan karakter yang mereka ajarkan masih menempel kuat di ingatan saya. Menggunting kuku karena kuku panjang tempat setan bersarang. Membaca Al-Quran selancar membaca komik. Paham setiap bacaan salat dan doa, bukan sekadar menghafal.
Tapi percayalah, takkan ada yang bisa menggantikan peran dan arti orang tua. Guru itu boleh masih ingat saya, tapi di sekolah sepanjang hari selama enam tahun membuat saya kehilangan apa yang anak lain rasakan bersama orang tuanya.
Sampai sekarang, bisa dibilang saya tidak pernah bicara hati ke hati dengan orang tua. Saya terbiasa hidup tanpa mereka. Lebih sering bersama teman.
Jangan salahkan saya kalau saya sangat sulit jujur pada orang tua soal apa yang sebenarnya saya mau. Jangan salahkan saya kalau mereka adalah orang terakhir yang ingin saya telepon setiap saya punya masalah. Lingkaran pertama adalah teman-teman.
Apa bedanya itu dengan anak yang ditinggalkan di tempat penitipan sementara orang tuanya bekerja? Apalagi setelah itu, selama tiga tahun sampai SMP saya ada di
boarding school, menjauh dari rumah.
Full day school, secara konsep dan kurikulum saya acungi jempol. Saya bahkan ingin menyekolahkan anak di sana jika punya satu atau dua kelak. Tapi jangan sampai berada di sekolah seharian kemudian membuatnya jauh dari lingkaran pertama kehidupan: keluarga dan tetangga.
Saya juga tak pernah main gobak sodor atau benteng-bentengan dengan teman sebaya di sekitar tempat tinggal, karena sibuk di sekolah. Alhasil, sampai sekarang saya tak kenal tetangga.
Dari pengalaman itu saya belajar, full day school tidak seharusnya menjadi tempat orang tua menyerahkan lepas anak-anaknya ke sistem pendidikan. Mereka masih perlu campur tangan.
Kehadiran secara fisik dan emosional yang dibutuhkan. Selain itu, mereka juga perlu menjadi contoh yang baik. Pendidikan karakter di sekolah seharian, percuma tanpa contoh nyata di rumah.
Di sekolah diajari salat, orang tua tak pernah salat. Di sekolah pakai jilbab, orang tua tak berbusana tertutup. Di sekolah mengaji, orang tua tak bisa membaca huruf Arab. Anak akan berkembang dengan lebih mencontoh panutan terdekatnya.
Mengutip alasan Menteri Muhadjir,
full day school akan membuat anak tidak menjadi 'liar' di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja. Tapi tanpa kehadiran orang tua, anak hasil full day school juga bisa 'liar' setelahnya.
(rsa/dlp)