Belu, CNN Indonesia -- Bangunan-bangunan setengah jadi berdiri gagah. Seluruhnya berkubah. Belum semua kerangka berdinding, namun pilar-pilar putih membuat konstruksi terlihat megah. Itulah Pos Lintas Batas Negara Terpadu Mota Ain di Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pos perbatasan Indonesia menuju Timor Leste itu berjarak 40 kilometer atau satu setengah jam perjalanan darat dari Atambua, ibu kota Belu. Ini pos lintas batas terbesar dan tersibuk di Pulau Timor. Setiap harinya, menurut catatan Kantor Imigrasi Kelas II Atambua, Pos Mota Ain rata-rata dilintasi 150 hingga 200 orang.
Pembangunan besar-besaran di Pos Lintas Batas Negara Mota Ain dilakukan di atas lahan seluas 8,2 hektare, dengan anggaran Rp82 miliar digelontorkan langsung dari Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pos itu akan menjadi kompleks spektakuler di tapal batas Indonesia, terdiri dari zona inti dan subinti. Zona inti, menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI pada November 2015, meliputi gerbang, pos jaga, karantina tumbuhan dan hewan, pemeriksaan imigrasi, jembatan timbang, pemeriksaan X-ray kendaraan, bea cukai, dan lambang negara Indonesia.
Sementara zona subinti mencakup wisma, mes karyawan, dan sejumlah fasilitas lain. Semua kubah gedung mengadopsi bentuk atap rumah suku Matabesi yang mendiami Belu. Bedanya, rumah tradisional Matabesi terbuat dari alang-alang.
Peletakan batu pertama Pos Lintas Batas Negara Terpadu Mota Ain akhir tahun lalu dihadiri sejumlah pejabat pemerintah pusat, antara lain Luhut Binsar Pandjaitan yang kala itu menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Selain membangun kompleks pos lintas batas negara, jalan menuju pos itu akan dilebarkan.
 Pembangunan besar-besaran di Pos Perbatasan Mota Ain, Belu, Nusa Tenggara Timur. (CNN Indonesia/Raja Eben Lumbanrau) |
Pos Perbatasan Mota Ain baru dibangun masif akhir-akhir ini. Sebelum 2015, pos lintas batas di sana sekadarnya saja, kalah jauh dibanding pos-pos perbatasan Timor Leste yang berdiri anggun dan apik meski negara itu baru 14 tahun merdeka.
Sekitar 300 meter dari Pos Lintas Batas Mota Ain misalnya, bendera Timor Leste berkibar perkasa di depan gerbang perbatasan negeri itu, dengan tugu menjulang bertuliskan “Timor Leste.” Pos perbatasan negara yang merdeka 20 Mei 2002 tersebut juga dilengkapi pendingin ruangan –fasilitas yang jarang terlihat di Belu, Nusa Tenggara Timur.
Pembangunan juga dilakukan di Pos Lintas Batas Negara Wini, NTT, yang berbatasan dengan Sakato, Oekusi di barat Timor Leste. Pembangunan mencakup wilayah seluas 4,42 hektare. Untuk itu pemerintah pusat menyiram dana Rp136 miliar.
 Pos Lintas Batas Negara Wini di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Leste. Pos alakadarnya ini hendak dibangun jadi lebih bagus oleh pemerintah Indonesia. (CNN Indonesia/Raja Eben Lumbanrau) |
Saat ini, warga yang hendak lintas batas melewati pos itu dilayani di bilik kayu beratap seng seluas enam kali dua meter. Pada bilik tersebut terdapat dua tentara, dua polisi, dan dua petugas imigrasi.
Kondisi Pos Lintas Batas Wini yang seadanya itu bertolak belakang dengan Pos Perbatasan Timor Leste di seberangnya yang berdiri kokoh sejak 2012, diresmikan langsung oleh Perdana Menteri Xanana Gusmão.
Tak seperti pos lintas batas Indonesia yang tak sebentuk, pos perbatasan Timor Leste seluruhnya seragam, bercat merah muda dengan tugu bertuliskan nama negara itu.
Memelihara pekarangan rumahIndonesia, setelah bertahun-tahun memperlakukan perbatasan Nusa Tenggara Timur-Timor Leste seperti pekarangan belakang rumah yang tak terpelihara, kini hendak mengubahnya menjadi beranda rumah yang bersih dan tertata.
“Pemerintah harus punya perhatian kepada masyarakat perbatasan, dan Nawacita Presiden ialah membangun Indonesia mulai dari perbatasan,” kata Pastor Paroki Gereja Hati Kudus Yesus Laktutus, Pater Yohanes Kristovorus Tara OFM, saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com di Laktutus, Belu, Rabu (3/8).
Butir ketiga dari Nawacita atau sembilan agenda prioritas pemerintah Jokowi ialah “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa-desa, dalam kerangka negara kesatuan.”
Pater Yohanes berujar, masyarakat daerahnya perlahan mulai merasakan perubahan.
“Listrik masuk sini tahun lalu, setelah 70 tahun Indonesia merdeka. Sebelumnya, beberapa kali masyarakat mengancam, ‘Kalau tetap begini (minim fasilitas), lebih baik kami gabung dengan negara sebelah (Timor Leste).’ Sebab yang baru merdeka sudah terang-benderang 24 jam, sementara kami di sini yang sudah merdeka puluhan tahun, gelap terus,” kata Pater Yohanes.
Minimal, ujarnya, pemerintah memenuhi kebutuhan-kebutuhan substansial warga seperti jalan raya yang layak, listrik, serta telekomunikasi.
[Gambas:Video CNN]Romo Kanisius Oki Pr, Deken Dekenat Mena, Keuskupan Atambua, berpendapat ada korelasi antara kesejahteraan ekonomi dengan nasionalisme.
“Kalau ekonomi baik, mapan, tentu warga akan berusaha bekerja di sini. Perekonomian di perbatasan sampai sekarang masih di bawah standar,” kata dia.
Saat ini pemerintah mencanangkan pembangunan jalan lintas/lingkar Timor yang mengelilingi Pulau Timor untuk menghubungkan warga Indonesia dan Timor Leste.
Di wilayah perbatasan Nusa Tenggara Timur-Timor Leste ini, Gereja Katolik berperan penting membantu warga menyelesaikan masalah mereka dan menumbuhkan kecintaan pada negeri.
“Ada semboyan, menjadi 100 persen Katolik berarti 100 persen Indonesia. Kami juga bantu TNI di pos lintas batas membangun relasi dan memecahkan persoalan perbatasan. Misal ada kasus pencurian, perdagangan ilegal, gereja ambil bagian agar tidak timbul masalah lebih besar,” kata Pater Yohanes.
Menurut Pastor Perbatasan Paroki Stella Maris Atapupu, Romo Yoris Samuel Giri Pr, gereja berupaya membangun nasionalisme dari sisi perkembangan mental spiritualitas warga Indonesia di perbatasan, dan menjalin harmonisasi hubungan antarlembaga perbatasan.
Romo Yoris berkata, meski kesejahteraan ekonomi warga perbatasan masih di bawah standar, mereka cinta pada Indonesia.
Apapun, membangun tapal batas bukan sekadar mewujudkan pos perbatasan megah. Terlebih perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste punya segudang masalah, antara lain penyelundupan dan pencurian.
Penyelundupan yang marak terjadi dari Indonesia ke Timor Leste ialah bahan bakar minyak bersubsidi, sebab harga BBM di Timor Leste lebih mahal ketimbang di Indonesia.
“Misalnya di sini satu liter Rp6 ribu, di sana bisa Rp17 ribu,” kata Lukas Usboko, Kepala Desa Oepuah, Kecamatan Biboki Moenleu, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT.
BBM biasanya diselundupkan lewat jalur ilegal pada malam hari, menyebabkan pasokan energi di perbatasan Nusa Tenggara Timur menjadi amat terbatas sehingga menyulitkan warga Indonesia.
Selain itu, pencurian kendaraan bermotor terjadi berulang kali, dengan hasil curian dari Indonesia dibawa ke Timor Leste.
“Keamanan di kecamatan kami masih sangat kurang. Kebetulan di sini tidak ada polsek,” ujar Lukas.
Perhatian lebih pemerintah pusat kepada perbatasan, kata Bupati Belu Wilhelmus Foni, penting untuk membuat masyarakat tapal batas semakin bangga menjadi warga negara Indonesia, dan guna memulihkan psikologis masyarakat yang selama ini merasa terkucil.
Mereka di tepian juga berhak merdeka dengan memperoleh fasilitas publik yang layak.
(rel/agk)