Jakarta, CNN Indonesia -- Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif menemukan kecenderungan masa pengujian Undang-undang yang semakin lama di Mahkamah Konstitusi (MK).
Temuan ini diperoleh dari hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan KODE Inisiatif terhadap MK sejak 2003 hingga 2016.
Ketua KODE Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, terdapat sejumlah perkara di MK yang mesti menjalani proses hingga dua tahun sebelum diputuskan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal di periode awal MK, penanganan perkara biasanya hanya memakan waktu paling lama tiga bulan. Ada pula perkara yang hanya butuh diputuskan dalam waktu hitungan hari.
"Trennya saat ini MK memang semakin lama memutus suatu perkara. Ini menunjukkan ketidakpastian dalam proses hukum," ujar Veri dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, kemarin.
Namun berbeda dengan penanganan perkara yang terkait dengan UU MK sendiri. Dari hasil penelitian yang dilakukan KODE Inisiatif, lama waktu putusan terkait MK umumnya lebih cepat dibandingkan pengujian UU lainnya.
Veri berpendapat, MK mestinya menerapkan pembatasan waktu dalam proses pengujian UU di MK.
Selama ini pembatasan waktu masa pengujian, baru diterapkan pada penanganan sengketa UU Pemilihan Kepala Daerah yakni 45 hari, UU Pemilu Legislatif yakni 30 hari, dan UU Pemilu Presiden yakni 14 hari.
"Kalau ada limitasi waktu, ada kepastian kapan UU itu akan diputuskan dan itu bisa membuat pemohon cepat melihat hak konstitusional mereka," katanya.
Salah satu perkara yang penanganannya cukup lama di MK, kata Veri, adalah soal UU Advokat. Perkara ini berjalan selama hampir 27 bulan di MK.
Veri mengaku tak tahu pasti penyebab lamanya penanganan perkara tersebut di MK. Namun dia menduga, ada perdebatan panjang atau memang isu yang dianggap tak terlalu menarik terkait uji materi tersebut.
"UU yang diputus cepat itu biasanya yang terkait isu-isu krusial. Biasanya soal pilkada atau legislatif," ucapnya.
Menurut Veri, standar waktu ideal penanganan pengujian UU di MK adalah 6,5 bulan. Jumlah ini diperoleh dari 861 sampel penanganan perkara di MK yang dirata-rata selama 13 tahun terakhir.
Pakar hukum tata negara Refly Harun sepakat apabila masa penanganan perkara di MK dibatasi hingga enam bulan. Dia tak menampik ada faktor eksternal yang mempengaruhi MK dalam memutuskan suatu perkara. Hal ini yang membuat batasan waktu penanganan perkara di MK menjadi tak menentu.
Refly menceritakan pengalamannya yang pernah mengajukan gugatan uji materi terkait UU Pilpres pada tahun 2009.
Perkara itu baru disidangkan tepat dua hari sebelum pilpres berlangsung. Pada hari itu juga, kata Refly, perkara yang diajukan langsung diputus. Namun mantan staf ahli MK ini tak menjelaskan secara rinci ketentuan yang dia gugat di MK saat itu.
"Perkembangan sosial politik di sekitar MK pasti jadi pertimbangan memutus suatu perkara. Itu salah satu sidang tercepat karena langsung diputus sorenya," tuturnya.
(rel)