Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan Hadi Jatmiko menilai penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan belum menyentuh akar permasalahan yakni korporasi besar. Menurutnya, polisi dan jaksa belum berani menggiring korporasi untuk diproses secara hukum sebagai dalang utama terjadinya kebakaran hutan.
“Penegakan hukum karhutla hanya menyasar perusahaan kecil atau masyarakat secara personal. Perusahaan-perusahaan besarnya tidak ada yang masuk,” ujar Hadi dalam konferensi pers di kantor Walhi, Jakarta, pada Selasa (24/8).
Berdasarkan kajian Walhi, ada sekitar 262 laporan kasus karhutla kepada Polri pada tahun 2015. Dari 262 laporan, hanya ada 104 kasus yang berhasil ke tahap penyidikan.
Kepala Departemen Kajian, Pembelaan dan Pengembangan Hukum Lingkungan Walhi Zenzi Suhadi mengatakan Polri telah menetapkan 247 tersangka karhutla per Oktober 2015. Dari 247 tersangka, hanya 17 perusahaan yang merupakan korporasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sebanyak 230 tersangka lainnya itu perorangan (masyarakat),” kata Zenzi.
Walhi menilai minimnya jumlah korporasi yang kena jerat hukum sebagai hal yang ganjil. Padahal, sambungnya, titik api terbanyak ada pada lahan konsesi perusahaan. Walhi mencatat pada 2015 terdapat 439 lahan konsesi milik perusahaan di Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah yang mengalami kebakaran.
Menyalahkan MasyarakatDirektur Walhi Kalimantan Barat Anton P Widjaya mengatakan banyaknya masyarakat yang dijerat hukum merupakan bentuk penggiringan isu karhutla secara sistematis.
Tujuannya, sambung dia, adalah untuk menciptakan opini bahwa individu merupakan penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Bahkan, kata Anton, aparat penegak hukum sendiri mendorong hal tersebut karena tercermin dari cara kepolisian dalam menangani kasus karhutla.
Menurut Anton, proses hukum yang dijalankan oleh kepolisian selalu lebih cepat menuju persidangan ketika yang dijerat ialah masyarakat perorangan. Sebaliknya, proses hukum menjadi sangat lama ketika yang dijerat adalah perusahaan.
Anton mencontohkan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan pembakar hutan di Riau pada Januari lalu. Polda Riau saat itu berdalih tak menemukan bukti yang kuat karena banyak lahan yang terbakar ternyata berstatus lahan sengketa.
Upaya penggiringan opini juga mulai terasa di Kalimantan Barat. Anton mengatakan, korporasi di Kalimantan Barat mulai menggiring opini publik bahwa pelaku pembakaran hutan bukanlah perusahaan melainkan masyarakat.
Upaya penyesatan opini itu diikuti oleh aksi aparat kepolisian dan TNI di Kalimantan Barat banyak yang berpatroli ke desa-desa mencari dan menangkap masyarakat yang hendak membakar ladangnya. Padahal, kata Anton, pembakaran yang dilakukan masyarakat tidak berpengaruh banyak dan meluas seperti yang dilakukan oleh perusahaan.
“Korporasi seolah malah bekerja sama dengan aparat untuk membebaskan diri dari tuduhan pembakaran hutan,” kata Anton.
(wis/asa)