Jakarta, CNN Indonesia -- Para korban Tragedi 1965 mendesak Presiden Joko Widodo segera membentuk Komite Penyelesaian Pelanggaran HAM. Mereka yang tergabung dalam Forum 1965 menilai pembentukan komite itu sebagai wadah untuk memfasilitasi hasil putusan Mahkamah Rakyat Internasional (International People's Tribunal/IPT) Tragedi 1965.
“Pemerintah harus segera membentuk Komite Penyelesaian Pelanggaran HAM dibawah kendali Presiden,” kata Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo Untung di kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (25/8).
Hari ini, perwakilan para korban Tragedi 1965 menyerahkan hasil putusan IPT Tragedi 1965 kepada Wantimpres. Kehadiran mereka juga untuk mempertanyakan beberapa hal terkait solusi pelanggaran HAM 1965.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekitar 40 korban yang datang diterima langsung oleh Ketua Wantimpres Sri Adiningsih dan Wantimpres Bidang Hukum dan HAM Sidarto Danusubroto.
Bedjo mengatakan, pemerintah harus menindaklanjuti putusan Sidang IPT 1965 di Den Haag, Belanda. Dalam putusan itu, pemerintah RI dinyatakan bersalah telah melakukan kejahatan kemanusiaan: Pembunuhan, Penculikan, Penahanan, Pemenjaraan, Pemerkosaan, Perampokan, Penyiksaan, Perbudakan/Kerja Paksa, Kampanye Kebencian, dan Genosida.
“Kami meminta supaya rekomendasi IPT 1965 ditindaklanjuti pemerintah Indonesia. Keputusan IPT itu tidak bisa diabaikan,” kata Bedjo.
Bentuk tindak lanjut rekomendasi itu berupa permintaan maaf atau pengungkapan penyesalan dari presiden atas kejahatan kemanusiaan 1965 yang ditujukan kepada kepada seluruh korban, baik dari kelompok komunis, nasionalis, maupun pendukung Presiden RI pertama Soekarno.
“Presiden selaku kepala negara harus mengucapkan permintaan maaf terhadap semua korban. Jadi bukan minta maaf kepada PKI, tetapi korban semuanya,” ujar Bedjo.
Represi kepada Korban 65Pada kesempatan itu, mereka juga mendesak presiden segera menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Rehabilitasi Umum sebagai pengganti UU-KKR yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Keppres ini, menurut Bedjo, sebagai bagian penyelesaian pelanggaran HAM berat 1965.
Bedjo mengatakan negara harus memberikan rehabilitasi umum dan memberi ganti rugi atau kompensasi secara layak kepada korban. Selain itu, pemerintah harus melakukan upaya penegakan hukum terhadap aktor utama yang terlibat kejahatan kemanusiaan untuk menjamin peristiwa serupa tidak terjadi di masa yang akan datang.
Bedjo mengungkapkan, hingga kini para korban masih mengalami represi dan stigma. Oleh karena itu Bedjo meminta Presiden Jokowi segera mencabut atau membatalkan Keppres Nomor 28 Tahun 1975 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Keppres tersebut dianggap sebagai pijakan hukum pemerintah Orde Baru dalam membuat klasifikasi tahanan politik, baik golongan A, B, C, C1, C2, dan seterusnya. Melalui Keppres tersebut, kata Bedjo, para korban diberhentikan sebagai PNS, guru, maupun tentara secara sewenang-wenang karena dugaan terlibat G30S.
“Karena cantolan hukumnya masih ada, sampai sekarang kami masih kena represi. Para korban sampai sekarang masih diperlakukan secara diskriminatif, penuh stigma, selalu diancam dan diteror,” kata Bedjo.
Salah satu bentuk represi yang dialami adalah ketika aparat membubarkan rapat yang digelar oleh para korban di Cianjur, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Hal serupa terjadi dalam pertemuan di Salatiga, Solo, Yogyakarta, Semarang, Banyuwangi. Mereka yang hadir dalam pertemuan itu diawasi intelijen.
Bedjo berharap kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang. “Perjuangan kami tidak mengaitkan urusan politik. Perjuangan kami dalam rangka memperoleh hak-hak korban yang selama ini terampas,” katanya.
Para korban juga mendesak presiden menindaklanjuti temuan Komnas HAM dan Komnas Perempuan selama Tragedi 1965. Tindak lanjut itu perlu dibuktikan dengan membentuk Pengadilan HAM adhoc.
Menanggapi hal itu, Wanitempres kata Bedjo meminta para korban bersabar menunggu sikap pemerintah. Wantimpres menyebut Presiden Jokowi masih menunggu waktu yang tepat untuk menyelesaikan kasus ini.
“Wantimpres mengatakan tunggu timing yang tepat. Dia takut apabila belum apa-apa, Presiden Jokowi sudah dicap segala macam, misal dicap PKI. Tadi Wantimpres memberikan semangat,” ujar Bedjo.
Usai pertemuan ini, para korban akan menemui Presiden Jokowi, Menko Polhukam Wiranto, dan Gubernur Lemhanas Agus Widjojo. “Selama ini laporan selalu mandek. Mungkin langkah selanjutnya, korban akan bertemu langsung dengan presiden,” perwakilan IPT 1965 Febriana Firdaus mengungkapkan.
(wis/yul)