Suara Warga Kemang di Bantaran Sungai Krukut

Gloria Safira Taylor | CNN Indonesia
Kamis, 01 Sep 2016 07:12 WIB
Pada tahun 1974, bantaran Sungai Krukut adalah sawah dan perkebunan. Tak pernah sekalipun kawasan itu mengalami banjir.
Pemandangan Sungai Krukut di belakang rumah warga. Meluapnya Sungai Krukut pada Sabtu (27/8) lalu mengakibatkan sebagian kawasan Kemang terendam banjir. (CNN Indonesia/Gloria Safira Taylor)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sungai Krukut belum kembali normal setelah sempat meluap akhir pekan lalu. Tetapi hujan deras kembali turun membasahi kawasan Kemang, Jakarta Selatan pada Selasa (30/8) sore.

Perasaan waswas menggelayuti warga Kemang Selatan X A RT 03/ RW 02 yang rumahnya kebanjiran akibat luapan sungai tersebut.

Sebagai warga yang tinggal di bantaran sungai, banjir sebenarnya bukan hal baru bagi mereka. Namun, banjir pada Sabtu pekan lalu itu diakui warga sebagai banjir terparah. Ketinggian air mencapai 1,5 meter.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekretaris RT 03/RW 02, Ati Achyat mengatakan tak tega melihat warganya panik dan ketakutan saat hujan turun. Ia tergerak. Ati berinisiatif menjadikan rumahnya sebagai Posko Pengungsian bagi warga setempat.

"Sekarang, kalau hujan deras begini mereka jadi ketakutan, ngeri banjir lagi seperti kemarin (pekan lalu). Kasihan," ujar Ati di rumahnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebut banjir di kawasan Kemang tersebut dipicu jebolnya lima tembok rumah warga yang berdiri di bantaran Sungai Krukut.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengatakan, normalisasi bantaran Sungai Krukut perlu dilakukan untuk mencegah banjir datang kembali.

Tetapi normalisasi Sungai Krukut di kawasan Kemang tak segampang normalisasi Sungai Ciliwung di kawasan Kampung Pulo. Pasalnya, rumah-rumah yang dibangun di bantaran Sungai Krukut itu memiliki sertifikat hak milik.

Satu-satunya cara bagi Pemprov DKI Jakarta adalah dengan membeli tanah warga berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Artinya, Pemprov Jakarta harus mengeluarkan Rp 6.250.000 per meter untuk membeli tanah warga.
Ati mengatakan, dirinya telah mendengar rencana Pemprov DKI yang ingin menormalisasi Sungai Krukut. Namun, ia enggan meninggalkan tanah warisan orang tuanya.

Kalaupun diharuskan melepas tanah warisannya, Ati mengatakan Pemprov DKI Jakarta harus terlebih dulu bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan dengan warga. Alasannya, mereka tidak tahu ke mana harus pindah di Jakarta yang semakin padat.

Hal serupa diutarakan oleh Nur Ali, Ketua RT 02.

"Jika normalisasi memang solusi terbaik, kami akan mengikuti jika Pemprov DKI Jakarta mau mengganti . Tetapi, akan lebih baik jika Pak Ahok mau datang dan berdiskusi dengan kami," ucapnya.
Pada tahun 1974, Ali mengatakan, bantaran Sungai Krukut adalah sawah dan perkebunan. Kala itu, tak pernah sekalipun kawasan tersebut mengalami banjir.

Keadaan baru berubah pada tahun 1984 ketika banyak pendatang membeli tanah di kawasan Kemang. Harganya saat itu mencapai Rp 5ribu per meter.

Kemang pun semakin padat. Kini, mayoritas rumah di bantaran Sungai Krukut berdiri tepat di sisi sungai. Tak berjarak.

Akibatnya, banjir menjadi hal yang tak terelakkan. Ironisnya, banjir itu pula yang pada akhirnya berpotensi mengusir mereka dari kampung halaman. (wis/agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER