Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Megawati Soekarnoputri dengan raut sumringah mengenakan jas merah kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Jas itu sebagai pertanda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) resmi mendukung Ahok pada kontestasi pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017.
Detik-detik akhir seperti disengaja dilakukan. Drama yang dihadirkan antara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Ahok memang menjadi perbincangan, meski terjadi antiklimaks saat Ahok seakan menyerah dan kembali "berpartai politik", setelah sekian lama bertahan di jalur independen.
Drama politik Ahok-PDIP disajikan sangat apik, dengan pemegang peran utama Tri Rismaharini—Wali Kota Surabaya sekaligus kader PDIP. Drama ini disutradarai oleh pemilik takhta tertinggi Megawati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu juta kartu tanda penduduk (KTP) nyaris membuat Ahok percaya diri melenggang tanpa partai politik. Namun Ahok nyaris salah berhitung ketika politik tidak berjalan semulus ia mengumpulkan satu juta KTP.
Sementara, PDIP juga bukan tidak khawatir atas keberhasilan Ahok mengumpulkan satu juta KTP lewat Teman Ahok.
Keduanya punya amunisi untuk melaju pada Pilkada DKI Jakarta, tapi PDIP diuntungkan sebagai partai berkuasa. Ahok yang mencoba masuk secara individu kalah amunisi (meski sudah mengumpulkan satu juta KTP), melawan PDIP dengan mesin poltik yang telah mengakar.
Risma ibarat pemegang kunci.
Saat Ahok tetap "keras kepala” melaju sendiri, PDIP bukan tanpa strategi mencuatkan kondisi yang seakan sangat alami bahwa Risma mendapat banyak dukungan melaju di DKI.
Sumber CNNIndonesia.com mengatakan, PDIP telah melakukan survei internal yang menghasilkan data bahwa hanya Risma lawan sepadan Ahok. Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan sedikit nama lain hanya penggembira di belantika politik Jakarta.
Pertemuan Ahok-Risma yang digagas Presiden Joko Widodo di Istana, dikabarkan cukup membuat Ahok gagap. Dari sumber internal di Istana, saat pertemuan 9 Mei 2016, tidak ada sedikitpun pembicaraan langsung antara Ahok dan Risma, bahkan Ahok dikabarkan canggung menghadapi Risma di Istana, terutama saat Risma semakin santer akan diusung PDIP.
Skenario berlanjut.
Ditopang beragam survei yang memperlihatkan elektabilitas bahwa Risma mampu menyaingi Ahok, membuat mantan Bupati Belitung Timur itu berpikir ulang secara politis. Akhirnya, membuat Ahok menyerah dan bernegosiasi dengan Teman Ahok soal upaya pengumpulan satu juta KTP.
Meski mendapat dukungan dan memenuhi syarat satu juta KTP untuk maju secara independen, Ahok sadar, politik tidak berjalan sesuai harapan. Aturan bisa berubah secepat kilat di waktu yang sangat singkat.
Semisal, syarat satu juta KTP telah terkumpul, bisa saja aturan calon independen di Peraturan KPU berubah saat waktu pendaftaran semakin dekat. Perubahan sekecil apapun—termasuk perubahan format formulir bukti dukungan—akan membuat Ahok kelabakan membenahi satu juta KTP yang terkumpul.
Namun terlalu kasar bagi PDIP jika menggunakan jalur kekuasaan untuk berupaya merepotkan Ahok lewat peraturan. Sehingga skenario Risma untuk menjadi lawan Ahok di Jakarta menjadi pilihan paling halus.
Nyatanya, upaya itu berhasil.
Risma ibarat gembala bagi Ahok untuk membuat Gubernur DKI Jakarta itu kembali ke kandang PDIP. Risma diplot untuk mengawasi Ahok, jika ia tetap berkeras maju sendiri tanpa bantuan partai. Terlebih di Jakarta yang menjadi lahan rebutan semua partai.
Karena itu, ketiadaan gejolak di Teman Ahok membuat semua masuk akal. Dengan pertimbangan politis, Teman Ahok tak lagi berupaya mendorong Ahok maju lewat jalur pribadi.
Kampanye yang digaungkan yaitu, asal Ahok kembali memimpin Jakarta, lewat jalur apapun, Teman Ahok terus mendukung.
Bukan untuk mengingkari janji, namun Ahok harus mempertimbangkan strategi politik yang lebih mumpuni untuk kembali menguasai Jakarta. Terlebih, dengan dukungan PDIP, Ahok dikombinasikan Teman Ahok akan menjadi sebuah kekuatan yang nyaris tak bisa dibendung oleh kekuatan politik lain.
Selain PDIPyang menyuguhkan drama, partai seperti NasDem, Hanura dan Golkar lebih dahulu mendukung Ahok. Karena itu adalah pilihan realistis dan memberikan kredit citra positif bagi partai untuk bisa dijual kepada publik di lain kesempatan.
Risma berhasil menggiring Ahok pulang kandang, menuntaskan peran sesuai skenario PDIP. Meski harus berputar dan menyuguhkan drama, PDIP melalui Risma telah membawa Ahok pulang ke Teuku Umar, markas besar PDI Perjuangan.
Karena bagaimana pun, tak mungkin PDIP menyerahkan kekuasaan Jakarta ke tangan Ahok tanpa terlibat di dalamnya. Tidak pernah ada janji yang ajek dalam politik, karena politik selalu cair dan dinamis.
Minoritas, Tionghoa, dan Pancasila
Sukses menjadikan Joko Widodo sebagai orang nomor satu di negeri ini, memberi suatu imajinasi publik bahwa "wong cilik" bisa jadi presiden. Suatu hal yang utopis terjadi di Pemilu Presiden 2014 dan dianggap sebagai kemenangan rakyat.
Dan tentu saja, kemenangan PDIP atas keberhasilannya.
PDIP sedang mencoba mengulang kemenangan di Pilpres 2014 untuk Pilkada DKI. Mau tidak mau, suka tidak suka, Pilkada Jakarta punya tensi politik yang berbeda dari daerah lain.
Setelah Jokowi, Ahok menjadi sebuah cerita utopis lainnya soal Pancasila. Ia seorang Tionghoa dan minoritas, tapi ia sanggup bersaing bahkan kandidat kuat untuk kembali menguasai Jakarta.
Cerita Ahok pararel dengan PDIP.
Sebagai partai nasionalis, PDIP ingin memperlihatkan isu-isu agama, ras, suku dan golongan bukanlah suatu hambatan, seperti layaknya dasar negara Pancasila yang memberi kesetaraan bagi setiap penduduk tanpa kecuali.
Inilah yang membuat Megawati "jatuh cinta" terhadap Ahok. Sosok Ahok berhasil membawa semangat PDIP dan Pancasila secara beriringan. Ini pula yang membuat Ahok selalu mengklaim diri bahwa ia disukai Megawati.
Mengapa bukan Risma di Jakarta?
Jika Ahok tak kunjung "pulang", bukan tidak mungkin Risma akan maju di Jakarta, meski berat bagi seorang Megawati. Dia ingin memperlihatkan kepada publik—lewat drama Ahok-PDIP—bahwa partai politik penting dan keberadaannya dibutuhkan dalam iklim demokrasi.
Tak hanya itu, dinamika Jakarta sebagai ibu kota membuat PDIP Perjuangan menjadikan Risma pilihan terakhir jika Ahok tetap keras kepala.
Kemunculan Risma saat menjadi pesaing Ahok, akan sangat mungkin dan mudah ditunggangi kelompok intoleran, khususnya mereka yang merasa DKI tidak pantas dipimpin Ahok yang Tionghoa dan beragama Kristen.
Semisal "Pilih Risma, Pemimpin Muslim untuk DKI Jakarta" dan jargon kampanya lain berbau tidak sesuai dengan semangat PDIP yang mencoba konsisiten sebagai partai nasionalis.
Perhitungan Ahok untuk tetap dicalonkan membuat PDIP berada di jalur yang benar dan mewakili partai. PDIP juga kembali mencatat cerita baru tentang Pancasila yang tetap relevan menjadi pondasi negara sejak pertama kali berdiri.
Untuk seorang Risma, dia hanya tinggal menunggu waktu untuk bersinar selama dia sabar menunggu 2019 dan menyelesaikan tugas di Surabaya.
Satu kursi menteri tahun 2019 sangat layak dia dapatkan jika melihat wajah Surabaya yang cemerlang.
(rdk)